30 April 2009

Askep Basalioma


A. Konsep Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia (Adhi Juanda, dkk, 2000).
Menurut Price dan Wilson (1995), kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia yang membungkus otot-otot dan organ dalam tubuh.
Secara mikroskopis kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan epidermis, dermis, dan lemak subkutan (Price and Wilson, 1995). Berikut akan di uraikan mengenai masing-masing lapisan :
a. Lapisan epidermis (kutikel)
Bagian ini merupakan lapisan yang terluar dari kulit dan terdiri dari lima lapisan (lima stratum) yaitu : stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (Adi Juanda, dkk, 2000).
1). Stratum korneum (lapisan tanduk), terletak paling luar dan terdiri dari beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk) (Adhi Juanda, dkk, 2000).
2). Stratum lusidum, terdapat dibawah lapisan korneum, selnya pipih, sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar (Syaifuddin, 1996).
3). Stratum granulosum (lapisan keratohidin), merupakan dua atau lapisan sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kakr dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir ini terdiri atas keratohialin dimana sel mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Lapisan ini juga tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki (Adhi Juanda, dkk, 2000).
4). Stratum spinosum (stratum malphigi) disebut juga pickle cell layel. Merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm dan terdiri dari s-8 lapisan. Jika dilihat di bawah mikroskop sel-selnya berbentuk polygonal / banyak sudut dan mempunyai tanduk (spina) (Syaifuddin, 1998).
5). Stratum basale, terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnas) yang tersusun vertical pada perbatasan derma epidermal, berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan lapisan epidermis paling bawah (Adhi Juanda, dkk, 2000).
Gambar Anatomi Kulit


b. Lapisan dermis (korium)
Merupakan lapisan di bawah epidermis yang tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat yang elastis. Pada permukaan dermis tersusun papil-papil kecil yang berisi ranting-ranting pembuluh darah kapiler. Di dalam dermis terdapat ujung akhir saraf sensoris dan kelenjar keringat yang berbentuk tabung berbelit-belit dengan jumlah banyak (Pearce, 2000).
c. Lapisan subkutis (hypodermis)
Merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar dan berisi sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar dengan inti terdesak ke pinggir sitoplas lemak yang bertambah lapisan sel-sel lemak disebut poni kulus adipose yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah dan getah bening (Adhi Juanda, dkk, 2000).

2. Fisiologi Kulit
Kulit sebagai organ paling luar dari tubuh manusia selain mempunyai fungsi utama untuk menjamin kelangsungan hidup juga mempunyai arti lain yaitu estetika, ras, indicator sistemik, dan sarana komunikasi non verbal antara satu dengan yang lain (Adhi Juanda, dkk, 2000).
Dibawah ini akan penulis uraikan satu persatu fungsi kulit bagi kehidupan manusia (Adhi Juanda, dkk, 2000) :
a. Fungsi proteksi
Dalam fungsi ini kulit melindungi tubuh dari gangguan luar baik berupa fisik maupun mekanik seperti gesekan, tarikan dan tekanan. Proteksi Terhadap gangguan kimia seperti zat-zat kimia iritan : asam/asa kuat, lisol, karbol, dan gangguan dari panas seperti radiasi dan sinar ultraviolet. Selain itu juga proteksi terhadap gangguan dari mikroorganisme, seperti jamur, bakteri, dan virus.
b. Fungsi absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, laruran dan benda padat, tetapi larutan yang mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi larutan yang mudah menguap lebih cepat diserap begitu juga zat yang larut di dalam lemak. Permeabilitas kulit terhadap CO2, O2 dan H2O
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian dalam fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya dipengaruhi tebal tipisnya kulit, jenis hidrasi dan kelelmbaban.
c. Fungsi eksresi
Kulit mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme yang tidak berguna seperti Nacl, Ured, Asam urat, dan amonid. Sebum yang diproduksi meminyaki kulit dan menahan evaporasi (penguapan air), sehingga kulit tidak menjadi kering. Dengan diproduksinya lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada pH kulit 5 – 6,8.
d. Fungsi persepsi
Adapun ujung-ujung saraf pada dermis dan subkutis memungkinkan kulit menjadi indera persepsi panas, dingin, rabaan, dan tekanan.
e. Fungsi pengatur suhu (termoregulasi)
Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah dikulit.
f. Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen disebut melanosit yang terdapat distratum basale. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosom) menentukan warna kulit ras dan individu.
g. Fungsi keratinisasi
keratiniasi merupakan perubahan keratonis menjadi sel tanduk. Proses kreatinisasi ini berlangsung terus menrus sepanjang kehidupan. Lamanya proses ini berlangsung 14 – 21 hari yang memberikan perlindungan terhadap infeksi secara mekanik fisiologis.
h. Fungsi pengubahan pro vitamin D
Dengan bantuan sinar matahari (ultra violet) kulit dapat mengubah dan dihidruksi kolesterol (pro vitamin D) menjadi vitamin D.



i. Fungsi kosmetik
Tanpa diragukan lagi, kulit memberikan arti penting bagi estetika individu sehingga kulit yang sehat akan memberikan performance yang menarik pada individu.
B. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Basalioma adalah suatu tumor ganas kulit (kanker) yang berasal dari pertumbuhan neoplastik sel basal epidermis dan apendiks kulit (Graham, R, 2005).
Basalioma adalah merupakan tumor ganas yang berasal dari sel lapisan basal epidermis, bersifat invasif, destruktif lokal dan sangat jarang bermetastasis (Nila, 2005).
Basalioma adalah merupakan kanker kulit yang timbul dari lapisan sel basal epidermis atau folikel rambut ; yang paling umum dan jarang bermetastasis ; kekambuhan umum terjadi (Brunner and Suddarth, 2000).

2. Etiologi
Lebih dari 90 % penyebab basalioma yaitu terpapar inar matahari atau penyinaran ultraviolet lainnya. Paling sering muncul pada usia diatas 40 tahun. Faktor resiko lainnya adalah :
a. Faktor genetik (sering terjadi pada kulit terang, mata biru atau hijau dan rambut pirang atau merah).
b. Pemaparan sinar X yang berlebihan.

3. Patofisiologi
Basalioma merupakan kanker kulit yang paling sering ditemukan. Basalioma berasal dari sel epidermis sepanjang lamina basalis. Kanker sel basal terjadi pada daerah terbuka yang biasanya terpapar sinar matahari, seperti wajah, kepala, dan leher. Untungnya tumor ini jarang sekali bermetastasis. Pasien dengan kanker sel basal tunggal lebih mudah mendapat kanker kulit.
Spektrum sinar matahari yang bersifat karsinogen adalah sinar yang panjang gelombangnya, bekisar antara 280 samapi 320 mm.
Spektrum inilah yang membakar dan membuat kulit menjadi cacat. Selain itu, pasien yang memiliki riwayat kanker sel basal harus menggunakan tabir surya atau pakaian pelindung untuk menghindari sinar karsinogen yang terdapat di dalam sinar matahari.
Penyebab lain basalioma adalah riwayat pengobatan, radiologi, sebelumnya untuk menyembuhkan penyakit kulit lain. Sinar ultraviolet panjang (UVA) yang dipancarkan oleh alat untuk membuat kulit kecoklatan seperti terbakar sinar matahari juga merusak epidermis dan di anggap sebagai karsinogen.
Tumor ini ditandai oleh nodul eritromatosa, halus dan seperti mutiara, bagian tengah mengalami ulserasi dan perdarahan, meninggi dan memiliki pembuluh telangiektatik pada permukannya.














Patoflowdiagram

Penyebab (externa, interna)

Zat karsinogenik

Pertumbuhan neoplastik sel basal epidermis dan apendiks kulit

Basalioma

Tindakan medis : operasi Basalioma


Kurang informasi

Bertanya tentang penyakitnya

Penurunan status kesehatan

Kebutuhan akan belajar
Kurang pengetahuan↓

Terputusnya jaringan

Rangsangan terhadap reseptor nyeri di korteks serebri

Nyeri dipersepsikan

Nyeri akut
Eksisi bedah/luka

Media masuknya mikroorganisme

Infeksi

Resiko infeksi
Tindakan medis invasive

Struktur kulit terputus

Perubahan terhadap fungsi kulit


Kerusakan integritas kulit





(Price and Wilson, 2005

4. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang menyertai penyakit basalioma adalah presileksinya terutama pada wajah (pipi, dahi, hidung, lipat nasolabial, daerah periorbital), leher. Meskipun jarang dapat pula dijumpai pada lengan, tangan, badan, tungkai, kaki dan kulit kepala. Gambaran klinik basalioma bervariasi terbagi menjadi 5 bentuk :
a. Nodulo-ulseratif, termasuk ulkus rodens
b. Berpigmen
c. Morfea atau fibrosing atau sklerosine
d. Superfisial
e. Fibroepitelioma
Disamping itu terdapat pula 3 sindroma klinis, dimana epitelioma sel basal berperan penting, yaitu :
a. Sindroma epitelioma sel basal nevoid.
b. Nevus sel basal unilateral linier
c. Sindroma bazex

5. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Baughman, CD & Hackley J.C, 2000, pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan pada penderita. Basalioma adalah :
a. Evaluasi histologis
b. Biopsi

6. Penatalaksanaan
a. Biasanya kanker diangkat melalui pengorekan lalu dibakar dengan jarum listrik (kuretase dan elektrodesikasi) atau dipotong dengan pisau bedah. Sebelumnya diberikan suntukan anestesi.
b. Eksisi
c. Terapi radiasi

7. Pencegahan
Untuk mencegah kekambuhan, hindari hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit basalioma.

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data sebagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien, dikutip dari Iyet, et, al 1996 (Nursalam, 2001, hal 17). Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan askep sesuai dengan kebutuhan individu sehingga pengkajian akurat, lengkap, sesuai kenyataan dan kebenaran data sangat penting dalam merumuskan diagnosa keperawatan.
Dalam tahapan ini dilakukan pengumpulan data yang trdiri dari tiga metode yaitu komunikasi efektif, observasi dan pemeriksaan fisik. Data yang dikumpulkan terdiri atas data dasar dan data fokus, dikutip dari Iyer et, al, 1996 (Nursalam, 2001, hal 25).
Menurut Barbara Engram (1998), dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien pre dan post operasi umum, data yang perlu dikaji adalah :
a. Data dasar
1). Identitas
Kajian ini meliputi nama, inisial, umur, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pekerjaan dan tempat tinggal klien. Selain itu perlu juga dikaji nama dan alamat penanggung jawab serta hubungannya dengan klien.
2). Riwayat penyakit dahulu
Berupa penyakit dahulu yang pernah diderita yang berhubungan dengan keluhan sekarang.

3). Riwayat penyakit sekarang
Meliputi alasan masuk rumah sakit, kaji keluhan klien, kapan mulai tanda dan gejala. Faktor yang mempengaruhi, apakah ada upaya-upaya yang dilakukan.
4). Riwayat kesehatan keluarga
Terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit basalioma atau kanker (Engram, 1998).
5). Data biologis
a). Pola nutrisi
klien mengalami anoreksia, dan ketidakmampuan untuk makan (Mayer’s, et, al, 1995).
b). Pola minum
Masukan cairan klien adekuat, pasca operasi, klien puasa total 24 jam (Doenges, et, al, 2002).
c). Pola eliminasi
Terjadi konstipasi dan berkemih tergantung masukan cairan (Brunner & Suddarth, 2002).
d). Pola istirahat dan tidur
Tidak dapat tidur dalam posisi baring rata pasca operasi (Doenges, et, al, 1999).
e). Pola kebersihan
Penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari disebabkan pasca operasi (Tucker, et, al, 1998).
f). Pola aktivitas
Keletihan melakukan aktivitas sehari-hari (Brunner and Suddarth, 2000).
6). Data psikologis
a). Status emosi
b). Klien dapat merasa terganggu dan malu dengan kondisi yang dialaminya atau tidak (Brunner and Suddarth, 2002).
c). Gaya komunikasi
kesulitan berbicara dalam kalimat panjang/perkataan yang lebih dari 4 atau 5 sekaligus (Doenges, et, al, 1999).
d). Pola interaksi
tidak ada sistem pendukung, pasangan, keluarga, orang terdekat. Keterbatasn hubunan dengan orang lain, keluarga atau tidak (Doenges, et, al, 1999).
e). Pola koping
Klien marah, cemas, menarik diri atau menyangkal.
7). Data sosial
a). Pendidikan dan pekerjaan
tingkat pengetahuan tentang operasi minim (Soeparman, et, al, 1998).
b). Hubungan sosial
kuang harmonisnya hubunan sosial merupakan stressor emosional pernafasan tidak teratur (Brunner & Suddarth, 2002).
c). Gaya hidup
kebiasan merokok, minum minuman berakohol, sering bergadang (Brunner & Suddarth, 2002).
8). Data spiritual
Keterbatasan melakukan kegiatan spiritual (Brunner & Suddarth, 2002).

b. Pemeriksaan fisik
1). Keadaan umum lemah
2). Kesadaran composmentis sampai koma, tergantung tingkat efek pembedahan dan anestesi.
3). Tanda-tanda vital meningkat disebabkan adanya infeksi.
4). Kepala, leher, axilla : ekspresi wajah meringis, takut.
5). Hidung : pernafasan cuping hidung
6). Dada : berpengaruh apabila tingkatan infeksi tinggi akan mempengaruhi pernafasan cepat sampai retraksi.
7). Ekstremitas : ekstremitas berkeringat
(Brunner & Suddarth, 2002)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yangmenjelaskan respon manusia dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontailitas dapat mengidentifikasi dan memberikan informasi secara pasti untuk menajga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah, dikutip dari Carpenito, 2000 (Nursalam, 2001, hal 35).
NANDA menyatakan bahwa diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakan tentang masalah kesehatan aktual atau potensial sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat. (Nursalam, 2001, hal 35).
Adapun tujuan membuat diagnosa keperawatan adalah mengidentifikas :
a. Masalah dimana ada respon klien terhadap status kesehatan atau penyakit.
b. Faktor-faktor yang menunjang atau menyebabkan suatu masalah (etiologi).
c. Kemampuan klien untuk mencegah atau menyelesaikan masalah (Nursalam, 2001).
Berdasarkan teori diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada klien dengan pre dan post operatif Basalioma menurut Doenges, et al (2000), adalah sebagai berikut :
1) Diagnosa keperawatan pre-operatif
a) Ansietas berhubungan dengan perubahan pada status kesehatan.
b) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kecacatan.
c) Kurang pengetahuan tentang kondisi dan prognosis berhubungan dengan kurang informasi.
2) Diagnosa keperawatan post-operatif
a) Bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan ekspansi paru, energi menurun/kelemahan, nyeri.
b) Kekurangan cairan berhbungan dengan hilangnya cairan tubuh.
c) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual/muntah dan kurang nafsu makan.
d) Nyeri akut berhubungan dengan eksisi pembedahan.
e) Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan eksisi pembedahan.
f) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka post operasi.

3. Perencanaan Keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan langkah berikutnya adalah menetapkan perencanaan keperawatan. Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengoreksi atau mengurangi masalah yang diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Tatahp ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan penyimpulan rencana dokumentasi.
Bebrapa komponen yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi rencana tindakan keperawatan meliputi menentukan prioritas, menentukan kriteria hasil, menentukan rencana tindakan dan dokumen (Nursalam, 2001, hal 52). Terdapat 3 (tiga) tindakan dalam tahap perencanaan tindakan yaitu rencana tindakan perawat, rencana tindakan pelimpahan (delegasi) dan program atau perintah medis yang ditujukan pada klien dalam pelaksanaannya dibantu oleh perawat (Nursalam, 2001).
Penetapan priorits masalah keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien didasarkan kepada hirarki kebutuhan dasar manusia. Ada dua contoh hirarki yang bisa digunakan, yaitu :

a. Hirarki ”Maslow”
Maslow (1967) menjelaskan kebutuhan manusia dibagi dalam lima tahap : fisiologis, rasa aman dan nyaman, sosial, harga diri dan aktualisai diri. Maslow mengatakan pasien memerlukan suatu tahapan kebutuhan,jika pasien menghendaki suatu tindakan yang memuaskan (Nursalam, 2001, hal 54).



Aktualisasi
Diri

Harga diri

Mencintai dan dicintai

Rasa aman dan nyaman

Kebutuhan fisiologis, O2, CO2, elektrolit, makanan, seks

Gambar Hirarki Maslow Tentang Kebutuhaan Dasar Manusia


Keterangan :
1) Kebutuhan fisiologis ( Physiological Need )
Contoh: Udara segar, air, cairan, elektrolit, makanan
2) Kebutuhan rasa aman ( Safety Need)
Contoh: Terhindar dari penyakit, pencurian dan perlindungan hokum
3) Kebutuhan mencintai dan dicintai (Love Need )
Contoh: Mendambakan kasih sayang, ingin mencintai dan dicintai, diterima oleh kelompok.
4) Kebutuhan harga diri (Esteem Need)
Rasional Contoh: Dihargai dan menghargai respek dari orang lain, toleransi dalam hidup berdampingan.
5) Kebutuhan aktualisasi diri (Self Actualitation Need)
Contoh: Ingin diakui, berhasil dan menonjol dari orang lain.

b. Hirarki ”Kalish”
Kalish (1983) lebih menjelaskan kebutuhan Maslow lebih mendalam dengan membafi kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk bertahan hidup dan stimulasi (Nursalam 2001,hal 52) setelah penyusunan prioritas perencanaan diatas maka langkah selanjutnya adalah penyusunan rencana tindakan. Adapun rencana tindakan dari diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan pre dan post operatif Basalioma (Doenges, 2000) adalah sebagai berikut :
1) Rencana keperawatan pre-operatif
a) Ansietas berhubungan dengan perubahan pada status kesehatan.
Tujuan : klien dan keluarga tidak cemas lagi.
Kriteria evaluasi :rasa takut dan cemas berkurang sampai hilang.

Intervensi :
(1) Kaji status mental termasuk ketakutan pada kejadian isi pikir.
Rasional :pada awal pasien dapat menyangkal dan represi untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan.(Doenges, 2000).
(2) Jelaskan informasi tentang prosedur perawatan.
:pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan
(3) Bantu kelurga untuk mengekspresikan rasa cemas dan takut.



Rasional :keluarga mungkin bermasalah dengan kondisi pasien atau merasa bersalah.(Doenges, 2000).
b) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kecacatan.
Tujuan :klien bisa menerima keadaannya.
Kriteria evaluasi :perasaan negatif tentang diri sendiri tidak terjadi.
Intervensi :
(1) kaji perubahan/kehilangan pada pasien.
Rasional :episode traumatik membuat perasaan kehilangan aktual yang dirasakan.(Doenges, 2000).
(2) bersikap positif selama pengobatan.
Rasional :meningkatkan hubungan kepercayaan antara pasien dengan perawat.(Doenges, 2000).
(3) Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.
Rasional :meningkatkan perasaan dan memungkinkan respons yang lebih membantu pasien.(Doenges, 2000).
c)Kurang pengetahuan tentang kondisi dan prognosis penyakit
Berhubungan dengan kurang informasi.
Tujuan :klien dan keluarga mengerti tentang penyakitnya.
Kriteria evaluasi :menyatakan pemahaman proses penyakit dan kebutuhan pengobatan
Intevensi :
(1) Kaji kemampuan klien untuk belajar.
Rasional : belajar tergantung pada emosi dan kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.(Doenges,2000).
(2) Diskusikan harapan klien untuk sembuh.
Rasional :klien seringkali mengalami kesulitan dan memutuskan unuk pulang.(Doenges,2000).
(3) Berikan pendidikan kesehatan mengenai penyakit Basalioma.
Rasional :untuk mendeteksi syarat indikatif kepatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.(Doenges,2000).
2) Rencana keperawatan post-operatif
a) Nyeri akut berhubungan dengan eksisi pembedahan.
Tujuan : nyeri berkurang sampai hilang.
Kriteria evaluasi :Klien akan melaporkan penurunan rasa nyeri dan peningkatan aktivitas setiap hari. Luka eksisi bedah sembuh setelah post operasi tanpa komplikasi.
Intervensi :
(1) Observasi skala nyeri, lama intensitas nyeri.
Rasional :
Membantu dalam mengidentifikasi derajat nyeri kebutuhan untuk analgesik (Doenges, 1999).
(2) Berikan posisi yang nyaman tidak memperberat nyeri.
Rasional:
Mengurangi tekanan pada insisi, meningkatkan relaksasi dalam istirahat (Doenges, 1999).
(3) Beri obat analgesik (diazepam, paracetamol) sesuai terapi medik.
Rasional:
Membantu mengurangi nyeri untuk meningkatkan kerjasama dengan aturan terapeutik (Brunner and Suddarth, 2001).
b) Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan eksisi pembedahan.
Tujuan : meningkatkan penyembuhan luka tepat waktu dan bebas tanda infeksi.
Kriteria evaluasi : luka bersih tidak tanda-tanda infeksi



Intevensi :
(1) Observasi luka, catat karakteristik drainase.
Rasional:
Perdarahan pasca operasi paling sering terjadi selama 48 jam pertama, dimana infeksi dapat terjadi kapan saja. Tergantung pada tipe penutupan luka (misal penyembuhan pertama atau kedua), penyembuhan sempurna memerlukan waktu 6-8 bulan (Doenges, 1999).
(2) Ganti balutan sesuai kebutuhan, gunakan tehnik steril.
Rasional:
Sejumlah besar cairan pada balutan luka operasi , menuntut pergantian dengan sering menurunkan iritasi kulit dan potensial infeksi (Doenges, 1999).
(3) Bersihkan luka sesuai indikasi, gunakan cairan isotonic Normal Saline 0,9 % atau larutan antibiotik.
Rasional:
Diberikan untuk mengobati inflamasi atau infeksi post operasi atau kontaminasi interpersonal (Doenges, 1999).
c) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan eksisi pembedahan.
Tujuan : meningkatkan waktu penyembuhan dengan tepat, bebas dari infeksi serta tidak ada tanda demam.
Kriteria evaluasi : pertahankan lingkungan aseptik
Intervensi :
(1) Perhatikan kemerahan disekitar luka operasi.
Rasional:
Kemerahan paling umum disebabkan masuknya infeksi ke dalam tubuh di area insisi (Doenges, 1999).
(2) Ganti balutan sesuai indikasi.
Rasional:
Balutan basah bertindak sebagai sumbu untuk media untuk pertumbuhan bakterial.
(3) Awasi tanda-tanda vital.
Rasional:
Peningkatan suhu menunjukkan komplikasi insisi (Doenges, 1999).

4. Implementasi
Implementasi adalah inisiatif dari intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah intervensi tersusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.
Tahap ini merupakan tahap keempat dari proses keperawatan. Oleh karena itu, pelaksanaannya dimulai setelah intervensi dirumuskan dan mengacu pada intervensi sesuai dengan skala : sangat urgen, urgen, dan tidak urgen (Nursalam, 1996).
Menurut Nursalam (2001) ada beberapa tahap dalam tindakan keperawatan, yaitu :
a. Tahap persiapan yang menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam tindakan.
b. Tahap intervensi adalah kegiatan implementasi dari intervensi yang meliputi kegiatan independen (mandiri), dependen (implementasi dari tindakan medis) dan interdependen (kerjasama dengan tim kesehatan lain).
c. Tahap dokumentasi adalah pencatatan yang lengkap dan akurat terhadap suatu kegiatan proses keperawatan.

5. Evaluasi
Tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana keperawatan dan pelaksanaan sudah berhasil dicapai (Nursalam, 2001).
Evaluasi terdiri dari dua yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif :
a. Evaluasi formatif disebut juga proses evaluasi jangka pendek atau evaluasi berjalan dimana evaluasi dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai.
b. Evaluasi sumatif biasa disebut evaluasi hasil, evaluasi akhir dan evaluasi jangka panjang. Evaluasi ini dilakukan diakhir tindakan keperawatan dilaksanakan. Dan menjadi suatu metode dalam memonitor kualitas dan efisien, tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format ”SOAP”.
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik dalam rencana keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan dan standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam tahap evaluasi ini yaitu : masalah teratasi seluruhnya, masalah teratasi sebagian, masalah belum teratasi dan masalah baru.

6. Perencanaan Pulang
Menurut Doenges (2000) hal-hal yang direncanakan seelum pemulangan adalah sebagai berikut :
a. Memenuhi kebutuhan istirahat cukup dan mematuhi terapi pengobatan dirumah.
b. Meningkatkan status nutrisi yang adekuat.
c. Mentaati aturan terapi pengobatan dan selalu kontrol ulang.

Askep Kusta


1. Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis
Reaksi :Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.

2. Etiologi
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873.Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

3. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.





Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

4. Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :




1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin ( - ).
5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL





5. Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
· Mengenai kulit dan saraf.
· Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
· Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
· Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
· Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
· Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
· Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
· Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Mid Borderline ( BB )
· Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
· Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.







· Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.
· Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
· Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,
beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
· Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
· Distribusi lesi khas :
o Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
o Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.






· Stadium lanjutan :
o Penebalan kulit progresif
o Cuping telinga menebal
o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
· Lebih lanjut
o Deformitas hidung
o Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
o Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
o Penyakit progresif, makula dan popul baru.
o Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
· Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
· Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
· Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
· Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
· Sebagian sembuh spontan.





Gambaran klinis organ lain
· Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
· Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
· Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
· Lidah : ulkus, nodus
· Larings : suara parau
· Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
· Kelenjar limfe : limfadenitis
· Rambut : alopesia, madarosis
· Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

6. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi
3. Gangguan aktivitas b/d post amputasi
4. Resti injuri b/d invasif bakteri
7. Intervensi
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu
Tujuan :
Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria hasil :
· Klien dapat menerima perubahan dirinya
· Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
· Klien tidak merasa malu
Intervensi :
· Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
· Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
· Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.
Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi
Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan, dengan kriteria hasil :
· Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
· Klien tenang
· Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari

Intervensi :
1. Kaji skala nyeri klien
2. Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
3. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
4. Awasi keadaan luka operasi
5. Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri
6. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.

Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi
Tujuan :
Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :
· Klien dapat beraktivitas mandiri
· Klien tidak diam di tempat tidur terus
Intervensi :
1. Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri
2. mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi
3. Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuannya.









DAFTAR PUSTAKA
Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta. Propinsi Jawa Tangah
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.

Askep Ca Laring


I. Konsep Dasar Medis
A. Pengertian
Secara anatomi tumor laring dibagi atas tiga bagian yaitu supra glotik: tumor pada plika ventrikularis, aritenoid, epiglottis dan sinus piriformis; Glotis: tumor pada korda vokalis; Subglotis: tumor dibawah korda vokalis.

B. Anatomi
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkiolus. Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolus dilappisi oleh membran mukosa yang bersilia. Gerakan silia mendorong lapisan muskus ke posterior di dalam rongga hidung, dan reseptor di dalam sistem pernafasan bagian bawah menuju ke faring.
Udara mengalir dari faring menuju ke laring atau kotak suara. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Di antara pita suara terdapat ruang berbentuk segitiga yang bermuara ke dalam trakea dan dinamakan glofis. Glofis merupakan saluran yang memisahkan antara saluran pernafasan atas dan bawah. Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan forasi, tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh lebih penting.
Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas, penutupan glottis, dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari epiglottis yang berbentuka daun, berperan untuk mengantarkan makanan dan minuman masuk ke dalam esophagus. Namun jika tiada benda asing masih mampu masuk melampaui glottis, maka laring yang mempunyai fungsi batuk akan membantu menghalau benda dan secret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.

C. Etiologi
Kanker laring mewakkili 1% dari semua kanker dan terjadi lebih sering pada pria, faktor-faktor penyebabnya adalah:
1. Tembakau
2. Alkohol dan efek kombinasinya
3. Ketegangan vocal
4. Laringitis kronis
5. Pemajanan industrial terhadap karsinogen
6. Defisiensi nutrisi (riboflavin) dan
7. Predisposisi keluarga


D. Patofisiologi
Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun. Kebanyakan pada orang laki-laki. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat. Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli. Kanker kepala dan leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan. Terutama neoplasma laryngeal, 95% adalah karsinoma sel skuamosa. Bila kanker terbatas pada pita suara (intrinsik) menyebar dengan lambat. Pita suara miskin akan pembuluh limfe sehingga tidak terjadi metastase ke arah kelenjar limfe. Bila kanker melibatkan epiglottis (ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi. Tumor superglotis dan subglotis harus cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga mengakibatkan suara serak. Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya pada waktu pita suara masih dapat digerakan.

E. Manifestasi
1. Sesak terjadi pada awal dan di area glotis
2. Nyeri dan rasa terbakar pada tenggorok ketika minum cairan panas dan jus jeruk
3. Mungkin teraba benjolan di leher
4. Gejala-gejala akhir termasuk disfagia, dispnea, sesak dan nafas bau
5. Pembesaran nodus servikal, penurunan BB, debilitas umum dan nyeri yang menjalar ke telinga dapat menandakan adanya metastasis (transfer penyakit dari satu organ ke organ lain).

F. Tes Diagnostik
Pada karsinoma laring, dilakukan pemeriksaaan larigoskopik langsung di bawah anestesi umum.Pemeriksaan laring dengan kaca laring atau laringoskopi langsung dapat menunjukan tumor dengan jelas. Tempat yang sering timbul tumor dapat dilihat pada gambar. Sinar-X dada, scan tulang, untuk mengidentifikasi kemungkinan metaphase. darah lengkap, dapat menyatakan anemi yang merupakan masalah umum. Laringografi dapat dilakukan dengan kontras untuk pemeriksaan pembuluh darah dan pembuluh limfe, kemudian laring diperiksa dengan anestesi umum dan dilakukan biopsy pada tumor.Gigi yang berlubang sebaiknya dicabut pada saat yang sama.

G. Penatalaksanaan
Pengobatan bervariasi tergantung pada kemajuan malignasi, pilihannya termasuk terapi radiasi dan pembedahan.
1. Pemeriksaan gigi lengkap untuk menyingkirkan penyakit gigi
2. Masalah-masalah gigi harus dibereskan sebelum pembedahan
3. Terapi radiasi mencapai hasil yang sangat baik jika hanya satu sisi pita suara yang terkena
4. Laringektomi parsial dianjurkan pada tahap dini, terutama pada kanker laring intrinsik
5. Laringektomi supraglofik (horizontal) digunakan untuk beberapa tumor ekstrinsik, keuntungan utama operasi ini adalah pemulihan suara
6. Laringektomi henivertikal dilakukan jika tumor sudah menjalar melebihi pita suara, tetapi kurang dari 1 cm dalam area subglotis
7. Laringektomi total untuk kanker ekstrinsik (menjalar melebihi pita suara). Pasien akan mengalami kehilangan pita suara, tetapi akan mempunyai kemampuan menelan normal.


II. Konsep Dasar Keperawatan
A Pengkajian
1. Integritas Ego
Gejala : Perasaan takut akan kehilangan suara, mati, terjadi atau berulangnya kanker, kuatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan kerja dan keuangan.
Tanda : Ansietas, depresi, marah dan menolak operasi.

2. Makanan atau cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah tersedak, sakit menelan, sakit tenggorok yang menetap, bengkak, luka, inflamasi atau drainase oral, kebersihan gigi buruk, pembengkakan lidah dan gangguan gag reflek.

3. Higiene
Tanda : Kemunduran kebersihan gigi, kebutuhan bantuan perawatan dasar

4. Neurosensori
Gejala : Diplopia (penglihatan ganda), ketulian
Tanda : Hemiparesis wajah (keterlibatan parotid dan submandibular), parau menetap atau kehilangan suara (gejala dominan dan dini kanker laring intrinsik), kesulitan menelan, kerusakan membran mukosa.



5. Nyeri atau Kenyamanan
Gejala : Sakit tenggorok kronis, benjolan pada tenggorok, penyebaran nyeri ke telinga, nyeri wajah (tahap akhir, kemungkinan metastase), nyeri atau rasa terbakar dengan pembengkakan (khususnya dengan cairan panas), nyeri local pada orofaring.
Pascaoperasi : Sakit tenggorok atau mulut
Tanda : Perilaku berhati-hati, gelisah, nyeri wajah dan gangguan tonus otot.

6. Pernafasan
Gejala : Riwayat merokok atau mengunyah tembakau, bekerja dengan debu, serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, dan logam berat. Riwayat penyakit paru.Batuk dengan atau tanpa sputum. Drainase darah pada nasal
Tanda : Sputum dengan darah, hemoptisis, dispnoe (lanjut) dan stridor

7. Keamanan
Gejala : Terpajan sinar matahri berlebihan selama periode bertahun-tahun atau radiasi, perubahan penglihatan atau pendengaran.
Tanda : Massa atau pembesaran nodul.

8. Interaksi sosial
Gejala : Masalah tentang kemampuan berkomunikasi, dan bergabung dalam interaksi sosial.
Tanda : Parau menetap, perubahan tinggi suara, bicara kacau, enggan untuk berbicara, dan menolak orang lain untuk memberikan perawatan atau terlibat dalam rehabilitasi.





B. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pengangkatan sebagian atau seluruh glotis, gangguan kemampuan untuk bernafas, batuk dan menelan, serta sekresi banyak dan kental
Batasan Karakteristik: sulit bernafas, perubahan pada frekuensi atau kedalaman pernafasan, penggunaan aksesoris pernafasan, bunyi nafas tidak normal, sianosis.
Tujuan: Klien akan mempertahankan jalan nafas tetap terbuka.
Kriteria Hasil: Bunyi nafas bersih dan jelas, tidak sesak, tidak sianosis, frekuensi nafas normal.

2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan deficit anatomi (pengangkatan batang suara) dan hambatan fisik (selang trakeostomi).
Batasan Karakteristik: Ketidakmampuan berbicara, perubahan pada karakteristik suara.
Tujuan: Komunikasi klien akan efektif.
Kriteria Hasil: Mengidentifikasi atau merencanakan pilihan metode berbicara yang tepat setelah sembuh

3. Kerusakan kulit atau jaringan berhubungan dengan bedah pengangkatan, radiasi atau agen kemoterapi, gangguan sirkulasi atau suplai darah, pembentukan edema dan pengumpulan atau drainase secret terus menerus.
Batasan Karakteristik: Kerusakan permukaan kulit atau jaringan, kerusakan lapisan kulit atau jaringan.
Tujuan: Menunjukan waktu penyembuhan yang tepat tanpa komplikasi
Kriteria Hasil: Intergritas kulit dan jaringan sembuh tanpa komplikasi

CA.NASOFARING

I. Konsep Dasar Medis
A. Pengertian
Karsinoma faring merupakan tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fossa rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Effiaty, 2001).
Tumor ganas nasofaring ( karsinoma faring) adalah sejenis kanker yang dapat menyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ tubuh kita.

B. Etiologi
1. Pertumbuhan sel kanker yang tidak terkontrol
2. Keturunan/genetic
3. Lingkungan
4. Virus

C. Patofisiologi
Terbukti juga infeksi virus Epstein Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang teerinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses poliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai pertanda delam mendiagnosa karsinoma nasofaring.Terdapat lima stadium pada karsinoma nasofaring, yaitu:
1. Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasofaring, biasa disebut nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasofaring
3. Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasofaring ke rongga hidung. atau dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher
5. Stadium 4: Kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah
D. Manifestasi Klinis
1. Gejala nasofaring sendiri berupa mimisan ringan (keluar darah lewat hidung) atau sumbatan hidung, ini terjadi jika kanker masih dini.
2. Gejala telinga, merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (saluran penghubung hidung-telinga). Gejalanya berupa telinga berdenging atau berdengung, rasa tidak nyaman di telinga sampai nyeri.
3. Gejala mata dan saraf, gejalanya nyeri di bagian kepala, leher, wajah, pandangan kabur dan diplopia.
4. Gejala metastasis, berupa bengkak di leher karena pembengkakan kelenjar limfe
E. Tes Diagnostik
1. Endoskopi
2. Pengambilan biopsy
3. MRI
4. CT scan
5. Sinar X
F. Penatalaksanaan
1. Terapi radiasi
2. Kemoterapi
3. Pembedahan
II. Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian
1. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan.Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri dan ansietas.
2. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan TD, epistaksis.
3. Intergritas Ego
Faktor stress, perubahan penampilan, tidak ada kepercayaan diri, depresi.
4. Eliminasi
Perubahan pola defekasi, konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urine, perubahan bising usus distensi abdomen.
5. Makanan atau cairan
Kebiasaan diit buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia, mual muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan, perubahan BB.
6. Neuroesnsoris
Sakit kepala, tinnitus, tuli, diplopia,juling
7. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga, rasa kaku di daerah leher karna fibrosis jaringan akibat penyinaran
8. Pernafasan
Riwayat Merokok
9. Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama atau berlebihan, demam, ruam kulit
10. Interaksi sosial

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan konversi atau destruksi jaringan saraf
Tujuan: Rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria Hasil: Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi nyeri

2. Gangguan sensori persepsi berhubungan dengan gangguan status organ sekunder metastase tumor
Tujuan: Mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori persepsi
Kriteria Hasil: Mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder kemoterapi radiasi.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil:
a. Melaporkan penurunan mual dan insiden muntah
b. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
c. Mennunjukan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
d. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan




Askep BPH


A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Anatomi fisiologi
Struktur reproduksi laki-laki terdiri dari penis, testis dalam kantong skrotum, sistem duktus yang terdiri dari epididimis, vas deferens, duktus ejakulatorius dan uretra, glandula asesoria yang terdiri dari vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar bulbouretralis.
Testis bagian dalam terbagi atas lobus yang terdiri dari tubulus seminiferus, sel-sel sertoli dansel-sel leydig. Produksi sperma atau spermatogenesis terjadi pada tubulus seminiferus. Sel-sel leydig mensekresi testosteron. Pada bagian posterior tiap-tiap testis, terdapat duktus melingkar yang disebut epididimis. Bagian kepalanya berhubungan dengan duktus seminiferus (duktus untuk aliran keluar) dari testis, dan bagian ekornya terus melanjut kebagian vas deferens. Vas deferens adalah duktus sekretorius testis yang membentang hingga duktus vesikula seminalis, kemudian bergabung membentuk duktus ejakulatorius. Duktus ejakulatorius selanjutnya bergabung dengan uretra, yang merupakan saluran keluar bersama, baik untuk sperma maupun kemih. Kelenjar asesorius juga mempunyai hubungan dengan sistem duktus. Prostat mengelilingi leher kandung kemih dan uretra bagian atas. Saluran-saluran (kelenjar cowper) terletak dekat meatus uretra. Penis terdiri dari 3 massa jaringan erektil berbentuk silinder memanjang yang memberi bentuk pada penis. Lapisan dalamnya adalah korpus kavernosum. Ujung distal penis dikenal sebagai glans, ditutupi oleh prepusium (klup). Prepusim dapat dilepas dengan pembedahan (sirkumsisi / sunat). (Sylvia A Price, hal 1320, 2006)


2. Definisi
a. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Tanda klinis BPH biasanya muncul pada lebih dari 50 % laki-laki yang berusia 50 tahun ke atas (Sylvia A. Priece, hal 1320, 2006).
b. Hiperplasia prostat benigna (BPH) adalah pembesaran, atau hipertrofi prostate. Kelenjar prostate membesar, memanjang ke arah depan, ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin ; dapat mengakibatkan hidronefrosis dan hidroureter. Penyebabnya tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukkan adanya keterlibatan hormonal. BPH adalah kondisi umum terjadi pada pria di atas usia 50 tahun (Brunner dan Suddarth, hal 467, 2000).
c. Benigna Prostat Hiperplasia adalah pembesaran kelenjar prostat dengan bermacam manifestasi seperti susah buang air kecil, penurunan kemampuan pengosongan urin, terendah, buang air kecil, hanya menetes, yang ditemukan pada laki-laki dengan usia lebihdari 50 tahun (Black, Hawks, Keene hal 946, 2001).
d. Hiperplasia adalah pembentukan jaringan yang berlebihan karena bertambahnya jumlah sel (Ahmad A.K., 2003).
e. Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostate (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn E. Doenges hal 671, 2000).
f. Prostat adalah kelenjar penghasil semen yang mengelilingi leher kandung kemih dan uretra pada laki-laki (Wim de Jong, hal 1059, 1997).
3. Etiologi
a. Faktor usia
b. Perubahan hormon
c. Genetik/kromosom keturunan (Wim De Jong,1997)



4. Patofisiologi
Biasanya ditemukan tanda dan gejala obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan ransangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinik.
Apa bila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urine sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urine didalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderiat tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urine terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung irune sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tingg daripada tekanan sfingter dan obsruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama-kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urine dapat berbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluk dapat terjadi pielonefritis.
(Wim De Jong, hal 1059)

3. Manifestasi klinis
a. Pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri tekan
b. Keletihan, anoreksia, mual dan muntah, serta rasa tidak nyaman epigastrik.
c. Akhirnya, azotemia dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi urine kronis dan volume residual yang besar. (Brunner & Suddart, hal 467, 2000)
4. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan fisik termasuk digital rektal.
b. Pemeriksaan urinalis dan urodinamik untuk menentukan obstrksi aliran (Brunner & Suddart, hal 467, 2000).
c. USG abdominal untuk melihat hidronefrosis atau massa di ginjal dan untuk menghitung volume sisa urine setelah berkemih dan ukuran prostat.
d. Cystoscopy dilakukan untuk menyingkirkan adanya devertikula kandung kemih, batu dan tumor.
e. Pengukuran angka aliran urine dan uretrogram retrograt juga dapat dilakukan. (Sylvia A Price, hal 1319, 2006).
f. Urinalisa warna kuning, coklat gelap, merah gelap atau terang (berdarah); penampilan keruh : pH 7 atau lebih besar (menunjukkan infeksi) bakterial, SDP, SDM, mungkin ada secara mikroskopik.
g. Kultur urine : dapat menunjukkan Staphylococus aureus.
h. Sitologi urine : untuk mengesampingkan kanker kandung kemih.
i. BUN / kreatinin meningkat bila fungsi ginjal dipengaruhi.
j. SDP mungkin > 11.000.
k. Sistouretroskopi : untuk menggambarkan derajat pembesaran prostat dan perubahan dinding kandung kemih.
l. Sistometri : mengevaluasi fungsi otot detrusor dan tonusnya.
m. Ultrasound transrektal : mengukur ukuran prostat, jumlah residu urine : melokalisasi lesi yang tidak berhubungan dengan BPH (M. Doenges, hal 671, 2000).
5. Penatalaksanaan
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi dan kondisi pasien.
a. Keteterisasi segera diperlukan jika pasien tidak mampu untuk berkemih, terkadang juga diperlukan sistostomi suprapubik.
b. Manipulasi hormonal dengan anti androgen (finasterid / proscar) untuk menurunkan ukuran prostat dan meningkatkan aliran urine.
c. Pembedahan (prostatektomi) untuk mengangkat porsi yang mengalami hipertrofi dari kelenjar prostat.
1) Reaksi prostat transuretral : prosedur endoskopik uretral merupakan pendekatan yang paling umum
2) Prostatektomi suprapubik : insisi abdominal
3) Prostatektomi parineal : insisi parineal dan inkontinen, impoten atau cedera rektal mungkin merupakan komplikasinya.
d. Prostatektomi retropubik : insisi abdominal rendah (Brunner & Suddart, hal 467, 2000).
6. Komplikasi
a. Kontinensia paradoks
b. Refluk vesiko ureter
c. Hidroureter
d. Hidronefrosis
e. Gagal ginjal
f. Hemoroid / hernia
g. Hematuria
h. Pielonefritis. (Wim De Jong, hal 1059, 1997)

A. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai pendekatan problem solving (pemecahan masalah) yang memerlukan ilmu, tehnik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga dengan memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan lima tahap proses keperawatan yaitu : pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi,implementasi dan evaluasi (Nursalam, 2001)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan da merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber dan untuk mengevaluasi serta mengidentifikasi status kesehatan pasien (Nursalam, 2001).
a. Sirkulasi
Tanda : Peningkatan TD (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala :
1) Penurunan kekuatan / dorongan aliran urine : tetesan
2) Keragu-raguan pada berkemih awal
3) Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap : dorongan dan frekuensi berkemih
4) Nokturi, disuria, hematuria
5) Duduk untuk berkemih
6) ISK berulang, riwayat batu (statis urinaria)
7) Konstipasi (protrusi prostat kedalam rektum)
Tanda :
1) Massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih.
2) Hernia inguinalis, hemoroid (menakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukanpengosongan kandung kemih mengatasi tahanan)
c. Makanan dan cairan
Gejala :
1) Anoreksia : mual / muntah
2) Penurunan berat badan
d. Seksualitas
Gejala :
1) Masalah tentang efek kondisi / terapi pada kemampuan seksual
2) Penurunan kekuatan ejakulasi
Tanda :
1) Pembesaran, nyeri tekan prostat
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala :
2) Nyeri suprapubis, panggul atau punggung : tajam, kuat (pada prostatitis akut)
3) Nyeri punggung bawah. (Marilyn E. Doenges 2000, hal 671)
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dari individu atau kelompok diman perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan informasi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah. (Nursalam dikutip dari carpenito, hal 35, 2000)
a. Hirarki Maslow
Maslow menjelaskan kebutuhan manusia dibagi menjadi lima tahap : fisiologis, rasa aman dan nyaman, sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Maslow mengatakan pasien memerlukan suatu tahapan kebutuhan, jika pasien menghendaki suatu tindakan yang memuaskan. Dengan kata lain kebutuhan fisiologis biasanya sebagai prioritas utama bagi pasien dari pada kebutuhan lain. (Nursalam, hal 52, 2001).
Dimana Maslow menggambarkan dengan skema piramida yang menunjukkan bagaimana seseorang bergerak dari kebutuhan dasar dari tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dengan tujuan akhir adalah fungsi dan kesehatan amnusia yang terintegrasi.

Aktualisasi
Diri
Harga diri
Mencintai dan dicintai
Kebutuhan keselamatan dan keamanan
Kebutuhan fisiologis
(O2, CO2, elektrolit, makanan dan sex)

Hirarki Abraham Maslow

Keterangan :
1) kebutuhan fisiologis O2, CO2, elektrolit, makanan dan sex
2) Kebutuhan keselamatan dan keamanan, terhindar dari penyakit dan perlindungan hukum
3) Mencintai dan dicintai : kasih sayang, mencintai, dicintai, diterima dikelompok.
4) Harga diri : dihargai dan menghargai (respek dan toleransi)
5) Aktualisasi diri : ingin diakui, berhasil dan menonjol
b. Hirarki “Kalish”
Kalish menjelaskan kebutuhan Maslow dengan membagi kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk bertahan dan stimulasi. Kalish mengidentifikasi kebutuhan untuk mempertahankan hidup : udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri, jika terdapat kekurangan kebutuhan tersebut, pasien cenderung menggunakan prasarana untuk memuakan kebutuhan tertentu, hanya saja mereka akan mempertimbangkan terlebih dahulu kebutuhan yang paling tinggi prioritasnya, misalnya keamanan dan harga diri. (Nursalam, hal 53, 2001).

Sesuai dengan dari sumber referensi yang diperoleh, pada pasien BPH terdapat diagnosa sebagai berikut :
a. Retensi urine (akut / kronik) berhubungan dengan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
b. Nyeri (akut) berhubungan dengan retensi kandung kemih.
c. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi. (Marilynn E. Doenges 2000, hal 671)
3. Perencanaan
Dalam menentukan perencanaan perlu menyusun suatu sistem untuk menentukan diagnosa yang akan diambil untuk tindakan pertama kali. Salah satu sistem yang dapat digunakan dalah hirarki kebutuhan manusia “ Iyer et al, 1996 “ (Nursalam, hal 52, 2001). Perencanaan meliputi pengembangan strategi untuk mencegah, mengurangi dan mengoreksi masalah-masalah yang akan diidentifikasi pada diagnosa kutipan dari Fiyer, Laptik dan Bernocchi, 1996 (Nursalam, hal 51, 2001).

28 April 2009

Askep Edema Anasarka

A. Defenisi
Edema merupakan manifestasi umum kelebihan volume cairan yang membutuhkan perhatian khusus.Pembentukan edema, sebagai akibat dari perluasan cairan dalam kompartemen cairan intertisial, dapat terlokalisir, contohnya pada pergelangan kaki;dapat berhubungan dengan rematoid arthritis; atau dapat menyeluruh, seperti pada gagal jantung atau ginjal, edema menyeluruh yang berat disebut anasarka(Brunner and Sudarth, 2001).

B. Etiologi
Edema anasarka terjadi karena adanya kelebihan volume cairan yang antara lain disebabkan oleh:
1. Gagal jantung (CHF)
2. Gagal ginjal (CRF)
3. Luka bakar
4. Sinroma nefrotik
5. Sirosis hepar
6. Infus larutan garam intravena secara cepat.

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari edema anasarka antara lain:
1. Edema menyeluruh
2. Takikardia
3. Peningkatan tekanan darah, tekanan nadi, dan tekanan vena sentral
4. Peningkatan berat badan
5. Nafas pendek dan Mengi
6. Retensi Cairan

D. Pemeriksaan Diagnostik
Pada penyakit edema anasarka dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik berikut:
1. BUN
2. Hematokrit
3. Rontgen dada
4. Creatinin
5. Urinalisa

E. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan pada anasarka adalah untuk mempertahankan atau mengembalikan volume cairan intravaskuler yang bersirkulasi.Selain mengobati penyebab, pilihan pengobatan lain mungkin termasuk terapi diuretic, pembatasan cairan dan natrium, peningkatan ekstermitas, pemakaian stocking suportif, parasintesis, dialysis, atau hemofiltrasi arterial vena kontinu (CAVH)