10 Juni 2009

Askep Hipokalemia

A. Konsep Dasar Medis
1. Anatomi fisiologi
a Anatomi
Sebuah sel ialah setitik massa (berbentuk seperti selei) protoplasma yang berisi inti atau nukleus yang dibungkus oleh membran sel. Dalam memperhatikan struktur selmaka perlu diperhatikan perhubungan bagian-bagiannya dengan fungsinya. Sel terdiri dari beberapa bagian seperti berikut : protoplasma, sitoplasma (mitokhondria, alat golgi, sitoplasma dasar, sentrosom dan membran sel), dan nukleus. (Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis, hal.7-8)
b Fisiologi
Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari simpanan tubuh (3000-4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-kira 70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum normal adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam sel yang sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intrasel, sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel dan mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun hanya merupakan bagian kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi neuromuskular. Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.
Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50-100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (<20%) akan diekskresikan melalui keringat dan feses. Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, natrium tubulus distal dan laju pengeluaran urine.
Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon mempengaruhi distribusi kalium antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan alkalosis cenderung memindahkan dari ECF ke ICF. Beberapa hormon juga berpengaruh terhadap pemindahan kalium antara ICF dan ECF. Insulin dan Epinefrin merangsang perpindahan kalium ke dalam sel. (Price & Wilson, edisi 6, hal 341)

2. Definisi
a. Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana kadar atau serum mengacu pada konsentrasi dibawah normal yang biasanya menunjukkan suatu kekurangan nyata dalam simpanan kalium total. (Brunner dan Suddarth, 2002).
b. Hipokalemia didefinisikan sebagai kadar kalium serum yang kurang dari 3,5 mEq/L. (Price & Wilson, 2006)

3. Etiologi
a. Asupan kalium dari makanan yang menurun.
b. Kehilangan melalui saluran cerna.
c. Kehilangan melalui ginjal.
d. Kehilangan yang meningkat melalui keringat pada udara panas.
e. Perpindahan kalium kedalam sel.
(Price & Wilson, 2006)
Adapun penyebab lain dari timbulnya penyakit hipokalemia : muntah berulang-ulang, diare kronik, hilang melalui kemih (mineral kortikoid berlebihan obat-obat diuretik). (Ilmu Faal, Segi Praktis, hal 209)

4. Patofisiologi
Kalium adalah kation utama cairan intrasel. Kenyataannya 98 % dari simpanan tubuh (3000-4000 mEq) berada didalam sel dan 2 % sisanya (kira-kira 70 mEq) terutama dalam pada kompetemen ECF. Kadar kalium serum normal adalah 3,5-5,5 mEq/L dan sangat berlawanan dengan kadar di dalam sel yang sekitar 160 mEq/L. Kalium merupakan bagian terbesar dari zat terlarut intrasel, sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel dan mempertahankan volume sel. Kalium ECF, meskipun hanya merupakan bagian kecil dari kalium total, tetapi sangat berpengaruh dalam fungsi neuromuskular. Perbedaan kadar kalium dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh suatu pompa Na-K aktif yang terdapat dimembran sel.
Rasio kadar kalium ICF terhadap ECF adalah penentuan utama potensial membran sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot jantung dan otot rangka. Potensial membran istirahat mempersiapkan pembentukan potensial aksi yang penting untuk fungsi saraf dan otot yang normal. Kadar kalium ECF jauh lebih rendah dibandingkan kadar di dalam sel, sehingga sedikit perubahan pada kompartemen ECF akan mengubah rasio kalium secara bermakna. Sebaliknya, hanya perubahan kalium ICF dalam jumlah besar yang dapat mengubah rasio ini secara bermakna. Salah satu akibat dari hal ini adalah efek toksik dari hiperkalemia berat yang dapat dikurangi kegawatannya dengan meingnduksi pemindahan kalium dari ECF ke ICF. Selain berperan penting dalam mempertahankan fungsi nueromuskular yang normal, kalium adalah suatu kofaktor yang penting dalam sejumlah proses metabolik.
Homeostasis kalium tubuh dipengaruhi oleh distribusi kalium antara ECF dan ICF, juga keseimbangan antara asupan dan pengeluaran. Beberapa faktor hormonal dan nonhormonal juga berperan penting dalam pengaturan ini, termasuk aldostreon, katekolamin, insulin, dan variabel asam-basa.
Pada orang dewasa yang sehat, asupan kalium harian adalah sekitar 50-100 mEq. Sehabis makan, semua kalium diabsorpsi akan masuk kedalam sel dalam beberapa menit, setelah itu ekskresi kalium yang terutama terjadi melalui ginjal akan berlangsung beberapa jam. Sebagian kecil (<20%) akan diekskresikan melalui keringat dan feses. Dari saat perpindahan kalium kedalam sel setelah makan sampai terjadinya ekskresi kalium melalui ginjal merupakan rangkaian mekanisme yang penting untuk mencegah hiperkalemia yang berbahaya. Ekskresi kalium melalui ginjal dipengaruhi oleh aldosteron, natrium tubulus distal dan laju pengeluaran urine. Sekresi aldosteron dirangsang oleh jumlah natrium yang mencapai tubulus distal dan peningkatan kalium serum diatas normal, dan tertekan bila kadarnya menurun. Sebagian besar kalium yang di filtrasikan oleh gromerulus akan di reabsorpsi pada tubulus proksimal. Aldosteron yang meningkat menyebabkan lebih banyak kalium yang terekskresi kedalam tubulus distal sebagai penukaran bagi reabsorpsi natrium atau H+. Kalium yang terekskresi akan diekskresikan dalam urine. Sekresi kalium dalam tubulus distal juga bergantung pada arus pengaliran, sehingga peningkatan jumlah cairan yang terbentuk pada tubulus distal (poliuria) juga akan meningkatkan sekresi kalium.
Keseimbangan asam basa dan pengaruh hormon mempengaruhi distribusi kalium antara ECF dan ICF. Asidosis cenderung untuk memindahkan kalium keluar dari sel, sedangkan alkalosis cenderung memindahkan dari ECF ke ICF. Tingkat pemindahan ini akan meingkat jika terjadi gangguan metabolisme asam-basa, dan lebih berat pada alkalosis dibandingkan dengan asidosis. Beberapa hormon juga berpengaruh terhadap pemindahan kalium antara ICF dan ECF. Insulin dan Epinefrin merangsang perpindahan kalium ke dalam sel. Sebaliknya, agonis alfa-adrenergik menghambat masuknya kalium kedalam sel. Hal ini berperan penting dalam klinik untuk menangani ketoasidosis diabetik. (Price & Wilson, edisi 6, hal 341)



Patoflodiagram

5. Manifestasi klinis
a CNS dan neuromuskular; lelah, tidak enak badan, reflek tendon dalam menghilang.
b Pernapasan; otot-otot pernapasan lemah, napas dangkal (lanjut)
c Saluran cerna; menurunnya motilitas usus besar, anoreksia, mual mmuntah.
d Kardiovaskuler; hipotensi postural, disritmia, perubahan pada EKG.
e Ginjal; poliuria,nokturia.
(Price & Wilson, 2006, hal 344)

6. Pemeriksaan diagnostik
Kalium serum : penurunan, kurang dari 3,5 mEq/L.
Klorida serum : sering turun, kurang dari 98 mEq/L.
Glukosa serum : agak tinggi.
Bikarbonat plasma : meningkat, lebih besar dari 29 mEq/L.
Osmolalitas urine : menurun.
GDA : pH dan bikarbonat meningkat (Alkalosit metabolik).
(Doenges 2002, hal 1049)

7. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan penyakit hipokalemia yang paling baik adalah pencegahan. Berikut adalah contoh-contoh penatalaksanaannya :
a. Pemberian kalium sebanyak 40-80 mEq/L.
b. Diet yang mengandung cukup kalium pada orang dewasa rata-rata 50-100 mEq/hari (contoh makanan yang tinggi kalium termasuk kismis, pisang, aprikot, jeruk, advokat, kacang-kacangan, dan kentang).
c. Pemberian kalium dapat melalui oral maupun bolus intravena dalam botol infus.
d. Pada situasi kritis, larutan yang lebih pekat (seperti 20 mEq/L) dapat diberikan melalui jalur sentral bahkan pada hipokalemia yang sangat berat, dianjurkan bahwa pemberian kalium tidak lebih dari 20-40 mEq/jam ( diencerkan secukupnya) : pada situasi semacam ini pasien harus dipantua melalui elektrokardigram (EKG) dan diobservasi dengan ketat terhadap tanda-tanda lain seperti perubahan pada kekuatan otot.
(Brunner & Suddarth, 2002, hal 260).

8. Komplikasi
Adapun komplikasi dari penyakit hipokalemia ini adalah sebagai berikut :
a. Akibat kekurangan kalium dan cara pengobatan yang kurang hati-hati dapat menimbulkan otot menjadi lemah, kalau tidak diatasi dapat menimbulkan kelumpuhan.
b. Hiperkalemia yang lebih serius dari hipokalemia, jika dalam pengobatan kekuarangan kalium tidak berhati-hati yang memungkinkan terlalu banyaknya kalium masuk kedalam pembuluh darah.
(Ilmu Gizi, 1991, hal 99)
Selain itu juga adapun hal-hal yang dapat timbul pada hipokalemia yaitu :
a. Aritmia (ekstrasistol atrial atau ventrikel) dapat terjadi pada keadaan hipokalemia terutama bila mendapat obat digitalis.
b. Ileus paralitik.
c. Kelemahan otot sampai kuadriplegia.
d. Hipotensi ortostatik.
e. Vakuolisasi sel epitel tubulus proksimal dan kadang-kadang tubulus distal.
f. Fibrosis interstisial, atropi atau dilatasi tubulus.
g. pH urine kurang akibatnya ekskresi ion H+ akan berkurang.
h. Hipokalemia yang kronik bila ekskresi kurang dari 20 mEq/L.
(Ilmu penyakit Dalam, 2001, hal.308)

B. Konsep Dasar Keperawatan
Proses keperawatan adalah dimana konsep diterapkan dalam raktek keperawatan. Hal ini disebut problem salving yang memerlukan ilmu, tehnik dan keterampilan interpersonal dan ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan pasien baik sebagai individu, keluarga maupun masyarakat. (Nursalam, 2000)

1. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan. (Nasrul Effendy, 1995)
a. Aktifitas atau istirahat
Gejala : kelemahan umum, latergi.
b. Sirkulasi
Tanda :
Hipotensi
Nadi lemah atau menurun, tidak teratur.
Bunyi jantung jauh.
Perubahan karakteristik EKG.
Disritmis, PVC, takikardia / fibrasi ventrikel.
c. Eliminasi
Tanda :
Nokturia, poliuria bila faktor pemberat pada hipokalemia meliputi GJK atau DM.
Penurunan bising usus, penurunan mortilitas, usus, ilues paralitik.
Distensi abdomen.
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual, muntah.
e. Neurosensori
Gejala : parestesia
Tanda :
Penurunan status mental / kacau mental, apatis, mengantuk, peka rangsangan, koma, hiporefleksia, tetani, paralisis.
Penurunan bising usus, penurunan mortilitas, usus, ileus paralitik.
Distensi abdomen
f. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri / kram otot
g. Pernapasan
Tanda : hipoventilasi / menurun dalam pernapasan karena kelemahan atau paralisis otot diafragma.
(Marilyn E. Doenges 2002 hal 1048)
Karena hipokalemia dapat mengancam jiwa, penting artinya untuk memantau timbulnya hipokalemia pad pasien-pasien yang beresiko. Adanya keletihan, anoreksia, kelemahan otot, penurunan mortilitas usus, parestesia, atau disritmia harus mendorong perawat untuk memeriksa konsentrasi kalium serum. Jika tersedia, elektrokardiogram dapat memberikan informasi yang bernmanfaat. Pasien-pasien yang menerima digitalis yang berisiko mengalami defisiensi kalium harus dipantau dengan ketat terhadap tanda-tanda terjadinya toksisitas digitalis karena hipokalemia meningkatkan aksi digitalis. Pada kenyataannya, dokter biasanya memilih untuk mempertahankan kadar kalium serum lebih besar dari 3,5 mEq/L (SI : 3,5 mmol/L) pada pasien-pasien yang menerima digitalis. (Brunner & Suddarth, 2002, hal.261)

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan , dan mengatasi kebutuhan spesifik pasien serta respon terhadap masalah aktual dan resiko tinggi. (Doenges 2002)
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia dari individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan informasi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah. (Nursalam dikutip dari carpenito, hal 35, 2000)
Penetapan prioritas masalah keperawatan untuk memenuhi kebutuhan pasien berdasarkan kepada tindakan kebutuhan dasar manusia. Ada 2 contoh hirarki yang biasa digunakan yaitu :
a. Hirarki Maslow
Maslow menjelaskan kebutuhan manusia dibagi menjadi lima tahap : fisiologis, rasa aman dan nyaman, mencintai dan dicintai, harga diri dan aktualisasi diri. Maslow mengatakan pasien memerlukan suatu tahapan kebutuhan, jika pasien menghendaki suatu tindakan yang memuaskan. Dengan kata lain kebutuhan fisiologis biasanya sebagai prioritas utama bagi pasien dari pada kebutuhan lain. (Nursalam, hal 52, 2001).
Dimana Maslow menggambarkan dengan skema piramida yang menunjukkan bagaimana seseorang bergerak dari kebutuhan dasar dari tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dengan tujuan akhir adalah fungsi dan kesehatan manusia yang terintegrasi.



Aktualisasi
Diri
Harga diri
Mencintai dan dicintai
Kebutuhan keselamatan dan keamanan
Kebutuhan fisiologis
(O2, CO2, elektrolit, makanan dan sex)

Hirarki Abraham Maslow
Keterangan :
1) kebutuhan fisiologis O2, CO2, elektrolit, makanan dan sex
2) Kebutuhan keselamatan dan keamanan, terhindar dari penyakit dan perlindungan hukum
3) Mencintai dan dicintai : kasih sayang, mencintai, dicintai, diterima dikelompok.
4) Harga diri : dihargai dan menghargai (respek dan toleransi)
5) Aktualisasi diri : ingin diakui, berhasil dan menonjol
b. Hirarki “Kalish”
Kalish menjelaskan kebutuhan Maslow dengan membagi kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk bertahan dan stimulasi. Kalish mengidentifikasi kebutuhan untuk mempertahankan hidup : udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri, jika terdapat kekurangan kebutuhan tersebut, pasien cenderung menggunakan prasarana untuk memuakan kebutuhan tertentu, hanya saja mereka akan mempertimbangkan terlebih dahulu kebutuhan yang paling tinggi prioritasnya, misalnya keamanan dan harga diri. (Nursalam, hal 53, 2001).
Adapun diagnosa yang sering ditemukan pada pasien hipokalemia secara teoritis adalah sebagai berikut :
a. Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan proses penyakit hipokalemia.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik akibat kelelahan.
c. Hipertermi berhubungan dengan kegagalan untuk mengatasi infeksi akibat penyakit hipokalemia.
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelelahan akibat penurunan fungsi otot dalam tubuh.
e. Perubahan pola nutrisi berhubungan dengan anoreksi; mual muntah.
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi.

3. Perencanaan
Rencana asuhan keperawatan adalah catatan yang ada tentang intervensi rencana keperawatan (Hunt Jennifer & Mark, 1995) rencana asuhan keperawatan adalah pengkajian yang sistematis dan identifikasi masalah, penentuan tujuan dan pelaksanaan serta cara atau strategi (Mayer, 1995)
Beberapa komponen yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi rencana tindakan keperawatan meliputi menentukan prioritas, kriteria hasil, menentukan rencana tindakan dan dokumentasi. (Nursalam, 2001)
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan hipokalemia maka rencana keperawatan yang dapat dirumuskan adalah :

Askep EKG

ELEKTROKARDIOGRAM (EKG)

A. DEFINISI
Elektrodiogram adalah grafik yang merekam perubahan potensial listrik jantung yang dihubungkan dengan waktu. Elektrodiografi adalah ilmu yang mempelajari perubahan¬-perubahan potensial atau perubahan voltage yang terdapat dalam jantung.
Dalam EKG perlu diketahui tentang sistem konduksi (listrik jantung), yang terdiri dari
1. SA Node ( Sino-Atrial Node )
2. AV Node (Atrio-Ventricular Node)
3. Berkas His
4. Serabut Purkinye


SA Node
Terletak dibatas atrium kanan (RA) dan vena cava superior (VCS). Sel-sel dalam SA Node ini bereaksi secara otomatis dan teratur mengeluarkan impuls (rangsangan listrik) dengan frekuensi 60 - 100 kali permenit kemudian menjalar ke atrium, sehingga menyebabkan seluruh atrium terangsang.

AV Node
Terletak di septum internodal bagian sebelah kanan, diatas katup trikuspid. Sel-sel dalam AV Node dapat juga mengeluar¬kan impuls dengan frekuensi lebih rendah dan pada SA Node yaitu : 40 - 60 kali permenit. Oleh karena AV Node mengeluarkan impuls lebih rendah, maka dikuasai oleh SA Node yang mempunyai impuls lebih tinggi. Bila SA Node rusak, maka impuls akan dikeluarkan oleh AV Node.

Berkas HIS
Terletak di septum interventrikular dan bercabang 2, yaitu :
1. Cabang berkas kiri ( Left Bundle Branch)
2. Cabang berkas kanan ( Right Bundle Branch )
Setelah melewati kedua cabang ini, impuls akan diteruskan lagi ke cabang-cabang yang lebih kecil yaitu serabut purkinye.

Serabut Purkinye
Serabut purkinye ini akan mengadakan kontak dengan sel-sel ventrikel. Dari sel-sel ventrikel impuls dialirkan ke sel-sel yang terdekat sehingga seluruh sel akan dirangsang. Di ventrikel juga tersebar sel-sel pace maker (impuls) yang secara otomatis mengeluarkan impuls dengan frekuensi 20 - 40 kali permenit.

B. TUJUAN EKG
1. Untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan irama jantung
2. Kelainan-kelainan otot jantung
3. Pengaruh/efek obat-obat jantung
4. Ganguan -gangguan elektrolit
5. Perikarditis
6. Memperkirakan adanya pembesaran jantung
7. dan lain-lain

C. CARA PEMERIKSAAN
1. PERSIAPAN ALAT-ALAT EKG.
a. Mesin EKG yang dilengkapi dengan 3 kabel, sebagai berikut :
b. Satu kabel untuk listrik (power)
c. Satu kabel untuk bumi (ground)
d. Satu kabel untuk pasien, yang terdiri dari 10 cabang dan diberi tanda dan warna.
e. Plat elektrode yaitu
f. 4 buah elektrode extremitas dan manset
g. 6 Buah elektrode dada dengan balon penghisap.
h. Jelly elektrode / kapas alkohol
i. Kertas EKG (telah siap pada alat EKG)
j. Kertas tissue
2. PERSIAPAN PASIEN
a. Pasieng diberitahu tentang tujuan perekaman EKG
b. Pakaian pasien dibuka dan dibaringkan terlentang dalam keadaan tenang selama perekaman.

D. CARA MENEMPATKAN ELEKTRODE
Sebelum pemasangan elektrode, bersihkan kulit pasien di sekitar pemasangan manset, beri jelly kemudian hubungkan kabel elektrode dengan pasien.
1. Elektrode extremitas atas dipasang pada pergelangan tangan kanan dan kiri searah dengan telapak tangan.
2. Pada extremitas bawah pada pergelangan kaki kanan dan kiri sebelah dalam.
3. Posisi pada pengelangan bukanlah mutlak, bila diperlukan dapatlah dipasang sampai ke bahu kiri dan kanan dan pangkal paha kiri dan kanan.
Kemudian kabel-kabel dihubungkan :
Merah (RA / R) lengan kanan
Kuning (LA/ L) lengan kiri
Hijau (LF / F ) tungkai kiri
 Hitam (RF / N) tungkai kanan (sebagai ground)
Hasil pemasangan tersebut terjadilah 2 sandapan (lead)
1. Sandapan bipolar (sandapan standar) dan ditandai dengan angka romawi I, II, III.
2. Sandapan Unipolar Extremitas (Augmented axtremity lead) yang ditandai dengan simbol aVR, aVL, aVF.


4. Pemasangan elektroda dada (Sandapan Unipolar Prekordial), ini ditandai dengan huruf V dan disertai angka di belakangnya yang menunjukkan lokasi diatas prekordium, harus dipasang pada :
VI : sela iga ke 4 garis sternal kanan
V2 : sela iga ke 4 pada garis sternal kiri
V3 : terletak diantara V2 dan V4
V4 : ruang sela iga ke 5 pada mid klavikula kiri
V5 ; garis aksilla depan sejajar dengan V4
V6 ; garis aksila tengah sejajar dengan V4
Sandapan tambahan
V7 : garis aksila belakang sejajar dengan V4
V8 : garis skapula belakang sejajar dengan V4
V9 : batas kin dan kolumna vetebra sejajar dengan V4
V3R - V9R posisinya sama dengan V3 - V9, tetapi pada sebelah kanan. Jadi pada umumnya pada sebuah EKG dibuat 12 sandapan (lead) yaitu
I II III aVR aVL aVF
VI V2 V3 V4 V5 V6
Sandapan yang lain dibuat bila perlu.

Lokasi permukaan otot jantung dapat dilihat pada EKG, seperti :
1. Anterior : V2, V3, V4
2. Septal : aVR, V1, V2
3. Lateral : I, aVL, V5, V6
4. Inferior : II, III, aVF
Aksis terletak antara : - 30 sampai + 110 (deviasi aksis normal)
Lebih dari – 30 : LAD (deviasi aksis kiri)
Lebih dari dari + 110 : RAD (deviadi aksis kanan)

E. CARA MEREKAM EKG
1. Hidupkan mesin EKG dan tunggu sebentar untuk pemanasan.
2. Periksa kembali standarisasi EKG antara lain
a. Kalibrasi 1 mv (10 mm)
b. Kecepatan 25 mm/detik
Setelah itu lakukan kalibrasi dengan menekan tombol run/start dan setelah kertas bergerak, tombol kalibrasi ditekan
2 -3 kali berturut-turut dan periksa apakah 10 mm
3. Dengan memindahkan lead selector kemudian dibuat pencatatan EKG secara berturut-turut yaitu sandapan (lead) I, II, III, aVR,aVL,aVF,VI, V2, V3, V4, V5, V6.
Setelah pencatatan, tutup kembali dengan kalibrasi seperti semula sebanyak 2-3 kali, setelah itu matikan mesin EKG
4. Rapikan pasien dan alat-alat.
a. Catat di pinggir kiri atas kertas EKG
b. Nama pasien
c. Umur
d. Tanggal/Jam
e. Dokter yang merawat dan yang membuat perekaman pada kiri bawah
5. Dibawah tiap lead, diberi tanda lead berapa, perhatian
Perhatian !
1. Sebelum bekerja periksa dahulu tegangan alat EKG.
2. Alat selalu dalam posisi stop apabila tidak digunakan.
3. Perekaman setiap sandapan (lead) dilakukan masing - masing 2 - 4 kompleks
4. Kalibrasi dapat dipakai gambar terlalu besar, atau 2 mv bila gambar terlalu kecil.
5. Hindari gangguan listrik dan gangguan mekanik seperti ; jam tangan, tremor, bergerak, batuk dan lain-lain.
6. Dalam perekaman EKG, perawat harus menghadap pasien.

F. CARA MEMBACA EKG
Ukuran-Ukuran pada kertas EKG
Pada perekaman EKG standar telah ditetapkan yaitu :
1. Kecepatan rekaman 25 mm/detik (25 kotak kecil)
2. Kekuatan voltage 10 mm = 1 millivolt (10 kotak kecil)
Jadi ini berarti ukuran dikertas EKG adalah
1. Pada garis horisontal
• tiap satu kotak kecil = 1 mm = 1/25 detik = 0,04 detik
• tiap satu kotak sedang = 5 mm = 5/25 detik = 0,20 detik
• tiap satu kotak besar = 25 mm = 25125” = I ,00 detik
2. pada garis vertikal
• 1 kotak kecil = 1 mm =0.1 mv
• 1 kotak sedang = 5 mm = 0,5 mv
• 2 kotak sedang = 10 mm= I milivolt


G. NILAI-NILAI EKG NORMAL
1. Gelombang P yaitu depolarisasi atrium.
a. Nilai-normal ; lebar <>b. tinggi <0,25>c. bentuk + ( ) di lead I, II, aVF, V2 - V6
d. - ( ) di lead aVR
e. + atau - atau + bifasik ( ) di lead III, aVL, V1
2. Kompleks QRS yaitu depolarisasi dan ventrikel, diukur dari permulaan gelombang QRS sampai akhir gelombang QRS Lebar 0,04 - 0,10 detik
a. Gelombang Q yaitu defleksi pertama yang ke bawah (-) lebar 0,03 detik, dalam <1/3>b. Gelombang R yaitu defleksi pertama yang keatas (+)
• Tinggi ; tergantung lead.
• Pada lead I, II, aVF, V5 dan V6 gel. R lebih tinggi (besar)
• Gel. r kecil di V1 dan semakin tinggi (besar) di V2 - V6.
c. Gelombang S yaitu defleksi pertama setelah gel. R yang ke bawah (-).
Gel. S lebih besar pada VI - V3 dan semakin kecil di V4 - V6.
3. Gelombang T yaitu repolarisasi dan ventrikel
a. (+) di lead I, II, aVF, V2 - V6.
b. (-) di lead aVR.
c. (±) / bifasik di lead III, aVL, V1 (dominan (+) / positif)
4. Gelombang U ; biasanya terjadi setelah gel. T (asal usulnya tidak diketahui) dan dalam keadaan normal tidak terlihat.

H. MEKANISME TERBENTUKNYA SUATU GELOMBANG
Ini ditentukan hasil catatan aktivitas elektris sel otot jantung
Pada sel otot jantung ada arah penyebaran impuls (VEKTOR) saat jantung berkontraksi yaitu depolarisasi dan repolarisasi yang ditandai adanya depleksi pada EKG


I. HUBUNGAN VEKTOR PADA EKG NORMAL
Pada jantung yang sehat )normal) vector dominan adalah mengarah ke bawah dan ke kiri,

J. 7 KRITERIA INTERPRETASI EKG
1. FREKWENSI (Heart Rate)
2. Irama (Rhythm)
3. Gel.P (P wave)
4. Jarak P – QRS (PR Interval)
5. Kompleks QRS, ada 3 yang dinilai :
a. Lama / lebar (duration)
b. Sumbu (Axis)
c. Bentuk (Comfiguration)
6. Segmen S – T (ST Segment)
7. Gel T (T Wave)
Dari seluruh kriteria tersebut, keluar suatu kesan : Normal / tidak
1. Frekwensi (Rate)
Frekwensi jantung ( HR ), normal ; 60- 100 x / menit
Cara menentukan jumlah frekwensi/kecepatan permenit
1. Untuk irama yang regular yaitu 1500 dibagi jumlah kotak kecil antan R-R (jarak dan R1 ke R2) = HR / menit
2. Untuk irama irreguler yaitu direkam EKG dalam 6 detik, hitung beberapa banyak kompleks QRS kemudian dikalikan 10 HR/ menit (jumlah R R dalam 6 detik dikali 10 H R / menit)
CATATAN Setiap EKG irregular (ARITMIA), rekam lead II panjang

2. Irama (Rhythm)
1. Bila teratur (reguler) dan gel. P selalu diikuti gel. QRS-T yakni normal disebut Sinus Ritme (irama sinus).
2. Bila irama cepat lebih dan 100 kali/menit disebut sinus tachikardi kurang dan 60 kali/menit disebut sinus bradikardi
3. Selain dan yang tersebut di atas adalah aritmia

3. GELOMIBANG P (P WAVE)
Diukur dan awal sampai akhir gel. P
Nilai normal ; lebar <0,11>tinggi <0,25>Kepentingan:
1. menandakan adanya aktivitas atrium
2. menunjukkan arah aktivitas atrium
3. menunjukkan tanda-tanda pembesaran atrium.
4. P-R INTERVAL
Diukur dan awal gel.P sampai dengan awal gel.QRS Nilai normal ; 0,12 - 0,20 detik
Kepentingan:
1. Interval PR >0,20 detik : AV Block
2. Interval PR <0,12>3. Interval PR berubah-ubah : Wandering Pacemaker.
5. KOMPLEKS QRS
Pengukuran kompleks QRS ada 3 yang dinilai
1. Lebar/interval : diukur dan awal sampai dengan akhir gel.QRS
Nilai normal : <0,10>Kepentingan : menandakan adanya Bundle Branch Block:
lebar 0,10 - 0,12 = Incomplete B B B.
Lebar >0,12 detik = Complete B B B.
2. AXIS ( sumbu )
Nilai normal : - 300 sampai + 1100
Cara menentukan axis yaitu dengan melihat 2 lead yang berbeda ekstremitas lead, yang terbaik adalah lead I & AVF
Kemudian :
tentukan jumlah aljabar dari amplitudo QRS di lead I dan aVF
tentukan di kwadrant mana vektor QRS berada
Kepentingan
300 sampai - 900 adalah L A D (Left Axis Deviation)
+ 1100 sampai 1800 adalab R A D (Right Axis Deviation)
3. Komfigurasi (bentuk)
Nilai normal :
Positif di lead I, II, aVF, V5, V6 ; Negatif di lead aVR, V1, V2
Bifasik di lead III, aVL, V3, V4, ( + / - )
Kepentingan mengetahui :
Q patologis
RAD/LAD
RVH/LVH


6. SEGMEN ST (ST SEGMENT)
Diukur dari akhir gel.QRS (J Point) sampai awal gel. T
Nilai normal isoelektris (- 0,5 mm sampai + 2,5 mm)
Kepentingan:
Mengetahui kelainan pada otot jantung (iskemia dan infark)
7. GELOMBANG T (T WAVE)
Ukurannya dari awal sampai dengan akhir gel. T
Nilai normal amplitudo (tinggi) :
<>Minimum 1 mm
Kepentingan:
1. menandakan adanya kelainan otot jantung (iskemia/infark)
2. menandakan adanya kelainan elektrolit.
Catatan:
1. Komfigurasi Gel. T Positif di lead I,II,aVF,V2-V6
2. Negatif di lead aVR
3. Bifasik di lead III, aVL, V1.

22 Mei 2009

Askep Hipertensi

A. KONSEP DASAR ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi
a. Jantung
Berukuran sekitar satu kepalan tangan dan terletak didalam dada, batas kanannya terdapat pada sternum kanan dan apeksnya pada ruang intercostalis kelima kiri pada linea midclavicular.
Hubungan jantung adalah:
 Atas : pembuluh darah besar
 Bawah : diafragma
 Setiap sisi : paru
 Belakang : aorta desendens, oesophagus, columna vertebralis
b. Arteri
Adalah tabung yang dilalui darah yang dialirkan pada jaringan dan organ. Arteri terdiri dari lapisan dalam: lapisan yang licin, lapisan tengah jaringan elastin/otot: aorta dan cabang-cabangnya besar memiliki laposan tengah yang terdiri dari jaringan elastin (untuk menghantarkan darah untuk organ), arteri yang lebih kecil memiliki lapisan tengah otot (mengatur jumlah darah yang disampaikan pada suatu organ).
c. Arteriol
Adalah pembuluh darah dengan dinding otot polos yang relatif tebal. Otot dinding arteriol dapat berkontraksi. Kontraksi menyebabkan kontriksi diameter pembuluh darah. Bila kontriksi bersifat lokal, suplai darah pada jaringan/organ berkurang. Bila terdapat kontriksi umum, tekanan darah akan meningkat.


d. Pembuluh darah utama dan kapiler
Pembuluh darah utama adalah pembuluh berdinding tipis yang berjalan langsung dari arteriol ke venul. Kapiler adalah jaringan pembuluh darah kecil yang membuka pembuluh darah utama.
e. Sinusoid
Terdapat limpa, hepar, sumsum tulang dan kelenjar endokrin. Sinusoid tiga sampai empat kali lebih besar dari pada kapiler dan sebagian dilapisi dengan sel sistem retikulo-endotelial. Pada tempat adanya sinusoid, darah mengalami kontak langsung dengan sel-sel dan pertukaran tidak terjadi melalui ruang jaringan.
f. Vena dan venul
Venul adalah vena kecil yang dibentuk gabungan kapiler. Vena dibentuk oleh gabungan venul. Vena memiliki tiga dinding yang tidak berbatasan secara sempurna satu sama lain.
(Gibson, John. Edisi 2 tahun 2002, hal 110)













Gambar: Sistem sirkulasi jantung (Gibson, john, 2002)

2. Fisiologi
Jantung mempunyai fungsi sebagai pemompa darah yang mengandung oksigen dalam sistem arteri, yang dibawa ke sel dan seluruh tubuh untuk mengumpulkan darah deoksigenasi (darah yang kadar oksigennya kurang) dari sistem vena yang dikirim ke dalam paru-paru untuk reoksigenasi (Black, 1997)

B. KONSEP DASAR MEDIS HIPERTENSI
1. Pengertian
Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2002, edisi 8 volume 2 hal 896).
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik  140 mmHg, tekanan darah diastolik  90 mmHg atau bila pasien memakai obat antihipertensi (FKUI, Kapita Selekta, hal 518)
Hipertensi adalah tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah normal, tinggi sampai hipertensi maligna. (Doenges, 2000, hal 39)
Definis operasional; Hipertensi adalah tekanan darah tinggi diatas 140/90 mmHg.
2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Hipertensi Esensial/Hipertensi Primer: yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na. Peningkatan Na dan Ca intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko, seperti: obesitas, alkohol, merokok serta polisitemia.
b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui seperti penggunaan esterogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal. Hiperaldosteronisme primer dan sindrom cushing, feokromusitoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan dan lain-lain
(FKUI, Kapita Selekta, hal 518).
3. Patofisiologi
Hipertensi sebagai suatu penyakit dimana terjadi peningkatan tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang tidak normal. Batas yang tepat dari kelainan ini tidak pasti. Nilai yang didapat diterima berbeda sesuai dengan usia dan jenis kelamin (sistolik 140-160 mmHg; diastolik 90-95 mmHg). Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung, tekanan perifer dan tekanan atrium kanan.
Didalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera. Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.
Berbagai faktor seperti faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran sel, aktivitas saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin yang mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme kalium dalam ginjal, serta obesitas dan faktor endotel mempunyai peran dalam peningkatan tekanan darah. Stres dengan peninggian aktivitas saraf simpatis menyebabkan kontriksi fungsional dan hipertensi struktural.
Berbagai promotor prosesor-growth bersama dengan kelainan fungsi membran sel yang sama dengan kelainan fungsi membran sel yang mengakibatkan hipertrofi vaskuler akan menyebabkan peninggian terhadap perifer dan peningkatan tekanan darah, mengenai kelainan fungsi membran sel membuktikan adanya defek transpor Na+ dan atau Ca++ lewat membran sel yang disebabkan oleh faktor genetik atau oleh peninggian hormon natriuretik akibat peninggian volume intravaskular yang dapat menghambat pompa natrium yang bersifat vasokontriksi.
Sistem renin angiotensin dan aldosteron berperan pada timbulnya hipertensi, sekresi angiotensin yang mengakibatkan retensi natrium dan air merupakan salah satu peran timbulnya hipertensi. Adanya hubungan hipertensi dan kadar gula darah yang membuat parahnya penderita. Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui saraf simpatis yang dapat meningkatkan peninggian tekanan darah yang menetap.
(Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, hal 457)









Patoflodiagram

































4. Manifestasi Klinis
Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian, gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak atau jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epitaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sulit tidur, mata berkunang-kunang dan pusing.
(Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, jilid 1, hal 518)
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Hemoglobin/Hematokrit: Bukan diagnostik tetapi mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan dan dapat mengindikasikan faktor-faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia .
b. Glukosa: Hiperglikemia (DM adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar ketokolamin (meningkatkan hipertensi).
c. Kalsium serum: Peningkatan kadar kalsium dapat meningkatkan hipertensi.
d. VMA urin (metabolit ketokolamin): Kenaikan dapat mengindikasikan adanya feokromositoma (penyebab); VMA urin 24 jam dapat dilakukan untuk mengkaji feokromositoma bila hipertensi hilang timbul.
e. Asam urat: Hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor resiko terjadinya hipertensi.
f. IVP: Dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi.
g. EKG: Dapat menunjukan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi.
(Doenges, 2002, hal 42)
6. Penatalaksanaan
Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik dibawah 140 mmHg dan diastolik dibawah 90 mmHg dan mengontrol faktor resiko. Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi gaya hidup saja atau dengan obat anti hipertensi.
Modifikasi gaya hidup, langkah-langkah yang dianjurkan:
a. Penurunan berat badan,
b. Membatasi alkohol,
c. Peningkatan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari),
d. Mengurangi asupan natrium (garam),
e. Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak dan kolesterol dalam makanan.
f. Obat anti hipertensi: Diberikan obat diuretik/betabloker.
Beberapa obat anti hipertensi: Captopril, Atenolol, Propanolol, Tiazid.
Beberapa obat diuretik: Lasix, Furosemid
(Mansjoer Arif et al, 2001; 519 )
7. Komplikasi
a. Pada mata: Berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan.
b. Gagal jantung: Merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat disamping kelainan koroner dan miokard.
c. Pada otak: Sering terjadi perdarahan yang disebabkan pecahnya mikro aneurisma yang dapat mengakibatkan kematian.
d. Gagal ginjal: Dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama pada proses akut seperti pada hipertensi maligna.
(Tjokronegoro Arjatmo dan Utama Hendra, IPD edisi III, jilid 2, hal 470)








C. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
Proses keperawatan adalah dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini disebut sebagai suatu pendekatan problem solving yang memerlukan ilmu, tehnik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasien baik sebagai individu, keluarga maupun mayarakat (Nursalam, 2001). Iyer et all (1996) mengemukakan dalam proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu: pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber, untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Menurut Doenges, (2000, hal 39) pengkajian klien dengan penyakit hipertensi adalah sebagai berikut:
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: Kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
Tanda: Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
b. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup dan penyakit serebrovaskuler, episode palpitasi, perpirasi.
Tanda:. Kenaikan TD (pengukuran serial dari kenaikan tekanan darah diperlukan untuk menegakan diagnosis).
c. Integritas ego
Gejala: Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euforia, atau marah kronik (dapat mengindikasikan kerusakan sererbral),
Tanda: Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinyu perhatian, tangisan yang meledak.


d. Eliminasi
Gejala: Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu (seperti infeksi/obstruksi atau riwayat penyakit ginjal masa yang lalu).
e. Makanan/cairan
Gejala: Makanan yang disukai, yang dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol, mual, muntah, perubahan berat badan akhir-akhir ini (meningkat/ menurun), riwayat penggunaan diuretik.
Tanda: Berat badan normal atau obesitas. Adanya edema: kongesti vena.
f. Neurosensori:
Gejala: Keluhan pening/pusing, berdenyut, sakit kepala suboksipital, episode kebas dan/atau kelemahan pada satu sisi tubuh. gangguan penglihatan.
Tanda: Status mental: perubahan keterjagaan, orientasi, isi bicara, afek, proses pikir, memori.
Respon motorik: penurunan kekuatan genggaman tangan dan atau reflek tendon dalam.
g. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung). Nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya, nyeri abdomen/massa.
h. Pernapasan
Gejala: Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas/kerja, takipnea, ortopnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.
Tanda: Distres respirasi/gangguan otot aksesori pernafasan. Bunyi nafas tambahan (rales/mengi), sianosis.
i. Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.


j. Pembelajaran/penyuluhan
Gejala: - Faktor-faktor resiko keluarga: hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, Diabetes Melitus, penyakit ginjal.
- Faktor-faktor resiko etnik, seperti: orang Afrika Amerika, Asia Tenggara.
- Penggunaan pil KB atau hormon lain penggunaan obat/alkohol.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia dan individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan mengubah. (Carpenito, 2000)
Langkah-langkah dalam menentukan diagnosa keperawatan yaitu: klasifikasi dan analisa data, interpretasi data, validasi data dan perumusan diagnosa keperawatan.
Menurut Doenges (2000; 43) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah sebagai berikut:
a. Resiko tinggi terhadap iskemia miokard berhubungan dengan kerusakan organ sekunder terhadap hipertensi tak terkontrol.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
c. Gangguan rasa nyaman: Nyeri (akut), sakit kepala berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskular serebral.
d. Nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan berlebihan sehubungan dengan kebutuhan metabolik.
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
3. Rencana Keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, langkah berikutnya adalah menetapkan perencanaan. Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, atau mengoreksi masalah-masalah yang diindentifikasi pada diagnosa keperawatan, dimana tahapan ini dimulai setelah menentukan diagnosa keperawatan dan menyimpulkan secara dokumentasi. (Nursalam dikutip dari Iyer, 1996, hal 51)
Beberapa komponen yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi rencana tindakan keperawatan meliputi menentukan prioritas, menentukan kriteria hasil, menentukan rencana tindakan dan dokumentasi. (Nursalam, dikutip dari Carpenito, 2000, hal 58)
a. Menentukan prioritas masalah
Melalui pengkajian, perawat akan mampu mengidentifikasi respon klien yang aktual/potensial yang memerlukan suatu tindakan. Dalam menentukan perencanaan perlu menyusun suatu “sistem” untuk menentukan diagnosa yang akan diambil tindakan pertama kali. Salah satu sistem yang bisa digunakan adalah hirarki “Kebutuhan Manusia” dikutip dari Iyer et. al, 1996 dalam (Nursalam, 2001, hal. 52).
1) Hirarki “Maslow”
Dalam menentukan prioritas diagnosa mengacu pada teori Abraham Maslow.

Sumber: Nursalam, (2001; 52)
2) Hirarki “Kalish”
Kalish (1983) lebih menjelaskan kebutuhan Maslow dengan membagi kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk “bertahan dan stimulasi”. Kalish mengidentifikasikan dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidup: udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri. Jika terjadi kekurangan kebutuhan tersebut klien cenderung menggunakan semua prasarana untuk memuaskan kebutuhan tertentu. Hanya saja mereka akan mempertimbangkan terlebih dulu kebutuhan yang paling tinggi prioritasnya, misalnya keamanan atau harga diri. dikutip dari Iyer et. al, 1996 dalam (Nursalam, 2001, hal. 53).
b. Menentukan kriteria hasil
Pedoman penulisan kriteria hasil berdasarkan “SMART”:
S: Spesifik (tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda).
M: Measurable (tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang perilaku klien: dapat dilihat, didengar, diraba, dirasakan dan dibau)
A: Achievable (tujuan harus dapat dicapai)
R: Reasonable (tujuan harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah)
T: Time (tujuan keperawatan)
c. Menentukan rencana tindakan
Adalah desain spesifik intervensi untuk membantu klien dalam mencapai kriteria hasil. Rencana tindakan dilaksanakan berdasarkan komponen penyebab dari diagnosa keperawatan.
Menurut Bulecheck dan Mc Closkey (1989) intervensi keperawatan adalah tindakan langsung kepada klien yang dilaksanakan oleh perawat.
d. Dokumentasi
Adalah suatu proses informasi, penerimaan, pengiriman, dan evaluasi pusat rencana yang dilaksanakan oleh seorang perawat profesional (Ryan, 1973). Format renpra membantu perawat untuk memproses informasi yang didapat selama tahap pengkajian dan diagnosa keperawatan. (Nursalam, 2001).

No Diagnosa Keperawatan Tujuan/ Kriteria Hasil Intervensi
Rasional
1 Resiko tinggi terhadap iskemia berhubungan dengan kerusakan organ sekunder terhadap hipertensi tak terkontrol. Tujuan:
Kerusakan organ sekunder terhadap hipertensi tak terkontrol dapat diatasi.
Kriteria hasil:
TD dipertahankan antara 90/60-140/90 mmHg, dan tidak adanya progresi kerusakan organ.
1) Kaji TD, ukur pada kedua tangan kiri dan kanan untuk evaluasi awal. Gunakan ukuran manset yang tepat dan teknik yang akurat.

2) Anjurkan tehnik relaksasi panduan imajinasi, aktivitas pengalihan.


3) Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas/keributan.


4) Anjurkan untuk pembatasan aktivitas, seperti: istirahat ditempat tidur/kursi; jadwal periode istirahat tanpa gangguan; bantu pasien melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan.

5) Berikan tindakan-tindakan yang nyaman, seperti pijitan punggung dan leher, meninggikan kepala tempat tidur.

6) Kolaborasi: Berikan obat sesuai dengan indikasi inhibitor simpatis, mis: Atenolol. 1) Perbandingan dari TD memberikan gambaran yang lebih lengkap keterlibatan masalah vaskuler.
(Doenges, 1999, hal 43)

2) Membantu untuk menurunkan rangsang simpatis, meningkatkan relaksasi.
(Doenges, 1999, hal 43)

3) Menurunkan stress dan ketegangan yang mempengaruhi tekanan darah dan perjalanan penyakit hipertensi.
(Doenges, 1999, hal 43)

4) Mengurangi ketidaknyamanan dan dapat menurunkan rangsangan simpatis.
(Doenges, 1999, hal 43)




5) Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress; membuat efek tenang, sehingga akan menurunkan TD.
(Doenges, 1999, hal 43)

6) Kerja khusus obat ini bervariasi tetapi secara umum menurunkan TD melalui efek kombinasi menurunkan curah jantung, menghambat aktivitas simpatis dan menurunkan pelepasan renin.
(Doenges, 1999, hal 44)
2 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum. Tujuan:
Klien mampu memenuhi aktivitasnya sehari-hari.
Kriteria hasil:
- Menunjukkan penurunan tanda fisiologi toleransi.
- Klien tampak segar.
- ADL mandiri.
- Kekuatan otot utuh (5)
1) Kaji respons klien terhadap aktivitas.




2) Jelaskan penyebab kelemahan.




3) Anjurkan pasien untuk menghemat energi, misal: melakukan aktivitas dengan perlahan.



4) Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas bertahap jika dapat ditoleransi. Berikan bantuan sesuai kebutuhan. 1) Menyebutkan parameter membantu dalam mengkaji respons fisiologis terhadap stres aktivitas dan bila ada merupakan indikator dari kelebihan kerja yang berkaitan dengan tingkat aktivitas.
(Doenges, 2000, hal 45)
2) Kelemahan disebabkan oleh kurangnya energi akibat pemasukan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh.
(Doenges, 2000, hal 1032)

3) Teknik menghemat energi mengurangi penggunaan energi, juga membantu keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
(Doenges, 2000, hal 45)

4) Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan kerja jantung tiba-tiba.
(Doenges, 2000, hal 45)
3 Gangguan rasa nyaman: nyeri (akut), sakit kepala berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskular serebral. Tujuan:
Nyeri kepala dapat berkurang sampai hilang.
Kriteria hasil:
- Ekspresi wajah rileks.
- TTV dalam batas normal.
- Skala nyeri 0-1.


- Klien mengatakan nyeri berkurang.
1) Kaji status nyeri, area, durasi, jenis nyeri, intensitas, kualitas.

2) Pertahankan tirah baring selama fase akut.

3) Berikan tindakan nonfarmakologik untuk menghilangkan sakit kepala, mis; kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, tenang, redupkan lampu kamar, tehnik relaksasi.
4) Hilangkan/minimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala misalnya: mengejan saat BAB, membungkuk, batuk panjang.
5) Kolaborasi: berikan obat analgesik sesuai indikasi.

6) Kolaborasi: memberikan obat antiansietas, mis: diazepam. 1) Membantu mengevaluasi derajad kenyamanan.
(Doenges, 2000, hal 490)
2) Meminimalkan stimulasi/meningkatkan relaksasi.
(Doenges, 2000, hal 46)
3) Tindakan yang menurunkan tekanan vaskular serebral dan yang memperlambat respons simpatis efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya.
(Doenges, 2000, hal 46)
4) Aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala dan adanya peningkatan tekanan vaskular serebral.
(Doenges, 2000, hal 46)
5) Menurunkan/mengontrol nyeri dan menurunkan rangsang sistem saraf simpatis.
(Doenges, 2000, hal 46)
6) Dapat mengurangi ketegangan dan ketidaknyamanan yang diperberat oleh stres.
(Doenges, 2000, hal 46)
4 Nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan berlebihan sehubungan dengan kebutuhan metabolik. Tujuan:
Dapat mengidentifi-kasi hubungan antara hipertensi dan kegemukan.
Kriteria hasil:
- Menunjuk-kan perubahan pola makan. (mis: pilihan makanan, kuantitas dan sebagainya)
- Mempertahankan BB yang diinginkan dengan pemeliharaan kesehatan optimal.
- Memperta-hankan program olah raga yang tetap secara individual. 1) Kaji pemahaman pasien tentang hubungan langsung antara hipertensi dan kegemukan.



2) Bicarakan pentingnya menurunkan masukan kalori dan batasi masukan lemak, garam, dan gula sesuai indikasi.




3) Anjurkan klien untuk menurunkan berat badan.




4) Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.



5) Instruksikan dan bantu memilih makanan yang tetap, hindari makanan dengan kejenuhan lemah tinggi dan kolesterol.
6) Timbang BB. 1) Kegemukan adalah resiko tambahan pada tekanan darah tinggi karena disproporsi antara kapasitas aorta dan peningkatan curah jantung berkaitan dengan peningkatan massa tubuh.
(Doenges, 1999, hal 46)
2) Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya arteriosklerosis dan kegemukan, yang merupakan predisposisi untuk hipertensi dan komplikasinya. Kelebihan masukan garam memperbanyak volume cairan intravaskular dan dapat merusak ginjal, yang lebih memperburuk hipertensi.
(Doenges, 1999, hal 47)
3) Motivasi untuk menurunkan berat badan adalah internal. Individu harus berkeinginan menurunkan berat badan, jika tidak maka program sama sekali tidak berhasil.
(Doenges, 1999, hal 47)
4) Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diet terakhir. Membantu dalam menentukan kebutuhan individu untuk penyesuaian/penyuluhan.
(Doenges, 1999, hal 47)
5) Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting untuk mencegah perkembangan aterogenesis.
(Doenges, 1999, hal 47)
6) Memberikan informasi sehubungan dengan kebutuhan nutrisi.
(Doenges, 2000, hal 212)
5 Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi. Tujuan:
Klien dan keluarga mengetahui penyakit hipertensi.
Kriteria hasil:
Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit sampai pencegahan.
1) Kaji tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar.

2) Bahas konsep TD menggunakan terminologi dan orang terdekat yang dapat dimengerti:
• Nilai normal.
• Efek tekanan darah tinggi.
3) Jelaskan secara singkat dan sederhana mengenai:
• Pengertian
• Penyebab
• Tanda dan gejala
• Pengobatan/penanganan
• Pencegahan


4) Tanya batas normal TD. 1) Belajar lebih mudah bila dimulai dari pengetahuan peserta belajar.
(Doenges, 2000, 436)
2) Resiko stroke meningkat secara langsung dengan tekanan darah individu.
(Doenges, 2000, 90)


3) Banyak pasien mengetahui ini sulit untuk meyakini mereka mengalami hipertensi karena asimtomatik pada awalnya sampai kepatuhan mulai terjadi sekunder terhadap kerusakan organ. Kepatuhan ditingkatkan bila pasien memahami kondisi mereka.
(Engram, hal 370)


4) Meningkatkan pemahaman klien bahwa TD yang tinggi dapat terjadi tanpa gejala adalah untuk pasien melanjutkan pengobatan meskipun merasa sehat.
(Doenges, 2000, 49)




4. Pelaksanaan
Iyer, et all (1996), menyatakan bahwa pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Pelaksanaan merupakan aplikasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat bersama klien. Hal-hal yang harus kita perhatikan ketika akan melakukan implementasi adalah intervensi yang dilakukan sesuai dengan rencana.
Setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan teknik intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologi dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan (Nursalam, 2000).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah salah satu yang direncanakan dan perbandingan yang sistematis pada status kesehatan klien.
Evaluasi terdiri atas dua jenis yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif disebut juga evaluasi proses, evaluasi jangka pendek, atau evaluasi berjalan, dimana evaluasi dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai. Sedangkan evaluasi sumatif ini disebut evaluasi hasil, evaluasi akhir, evaluasi jangka panjang. Evaluasi ini dilakukan pada akhir tindakan keperawatan paripurna dilakukan dan menjadi suatu metode dalm memonitor kualitas dan efisiensi tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format “SOAP”.
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan kembali umpan balik rencana keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan standar yang telah ditentukan sebelumnya. (Nursalam, 1996; 64)




6. Perencanaan Pulang (Discharge Planning)
Selama dirawat di Rumah Sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk perawatan dirumah. Beberapa informasi penyuluhan pendidikan yang harus sudah dipersiapkan/diberikan pada pasien ini adalah:
a. Pengertian dari penyakit hipertensi.
b. Penjelasan tentang penyebab penyakit.
c. Memanifestasi klinik yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh klien dan keluarga.
d. Penjelasan tentang penatalaksanaan yang dapat klien dan keluarga lakukan.
e. Klien dan keluarga dapat pergi ke Rumah Sakit/Puskesmas terdekat apabila ada gejala yang memberatkan penyakitnya.
f. Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien dalam menaati program pemulihan kesehatan.
(Doenges, 2000; 41)

Askep GEA


A. Konsep Dasar Medis
1. Anatomi dan fisiologi saluran pencernaan.
Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses Pencernaan (pengunyahan, penelanan dan percampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus.
(Syaifuddin, 1996, hal 87).
Saluran pencernaan terdiri dari: mulut, faring, osofagus, lambung, usus halus, usus besar, rectum, anus.
a). Anatomi mulut (oris)
Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas dua bagian yaitu:
1) Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang diantara gusi, gigi, bibir dan pipi.
2) Bagian rongga mulut/bagian dalam, yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis disebelah belakang bersambung dengan faring.
a) Kelenjar parotis
b) Kelenjar submaksilaris
c) Kelenjar sublingualis (Syaifuddin, 1996, hal.88).
b) Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan (osofagus), di dalam lengkungan faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosis dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. Disini terletak bersimpangan antara jalan napas dan jalan makanan ( Syaifuddin, 1996, hal 88).
c) Osofagus.
Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya kurang lebih 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak dibawah lambung (Syaifuddin, 1996, hal 89).
d) Lambung
Bagian lambung terdiri dari:
1) Fundus Ventrikuli
2) Korpus ventrikuli
3) Antrum Pilorus
4) Kurvatura Minor
5) Kurvatura Mayor
6) Osteum Kardiakum.
Susunan lapisan dari dalam keluar terdiri dari: lapisan selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot miring, lapisan otot panjang, dan lapisan jaringan ikat/serosa.
Fungsi lambung terdiri dari:
1) Makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung.
2) Getah cerna lambung yang dihasilkan:
a) Pepsin fungsinya, memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton).
b) Asam garam (HCL) fungsinya: mengasamkan makanan, sebagai antiseptik dan desinfektan, dan membuat Suasana asam pada pepsinogen sehingga menjadi pepsin.
c) Renin fungsinya, sebagai ragi membekukan susu dan membentuk kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
d) Lapisan lambung, jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak yang merangsang sekresi getah lambung (syaifuddin, 1996, hal 91).

e) Usus Halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter panjang dalam keadaan hidup dan merupakan saluran pencernaan diantara lambung dan usus besar. Usus halus panjang, tube yang berliku-liku yang memenuhi sebagian rongga abdomen.
Usus halus terdiri dari duodenum, yeyenum dan ileum.
1) Duodenum
adalah tube yang berbentuk huruf C dengan panjang kira-kira 25 cm, pada bagian belakang abdomen, melengkung melingkari pancreas.
Duodenum di gambarkan kedalam 4 bagian:
Bagian I : menjalar kearah kanan
Bagian II : menjalar kearah bawah
Bagian III : menjalar kearah tranversal kiri dan disebelah depan vena kava inferior dan aorta.
Bagian IV : menjalar kearah atas untuk selanjutnya bergabung dengan yeyenum (Gibson John, 1995, hal 163).
Bagian kanan duodenum terdapat selaput lendir yang membukit disebut papilla vateri, pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan saluran pancreas (duktus wirsungi/duktus pankreatikus). Empedu di buat di hati untuk dikeluarkan keduodenum melalui duktus koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase. Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar-kelenjar brunner, berfungsi untuk memproduksi getah intestinum (Syaifuddin, 1996, hal 91).
2) Yeyenum dan Ileum
Yeyenum merupakan bagian pertama dan ileum merupakan bagian kedua dari saluran usus halus. Semua bagian usus tersebut mempunyai panjang yang bervariasi dari 300 cm sampai 900 cm (Gibson John, 1995, hal 164).
Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesentrika suporior, pembuluh limfe dan saraf keruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk mesenterium. Sambungan antara yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.
Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium Ileoseckalis. Orifisium ini diperkuat oleh spinter ileuseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula Baukini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon asendens tidak masuk kembali keadaan ileum (Syaifuddin, 1996, hal 91).
Fungsi usus halus adalah:
a) Mensekresi cairan usus.
b) Menerima cairan empedu dan pancreas.
c) Mencerna makanan.
d) Mengabsorbsi air, garam dan vitamin.
e) Menggerakkan kandungan kandungan usus sepanjang usus oleh kontraksi segmental pendek dan gelombang cepat yang menggerakkan kandungan usus sepanjang usus menjadi lebih cepat.
f. Usus Besar.
Usus besar mempunyai panjang kurang lebih 1,5 meter dengan lebar 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar adalah:
1) Selaput lendir
2) Lapisan otot melingkar.
3) Lapisan otot penampang.
4) Jaringan ikat.
Fungsi usus besar, terdiri dari menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri koli dan tempat feses (Syaifuddin, 1996, hal 92).
Adapun bagian-bagian dari usus besar adalah sebagai berikut:
1. Seikum
Di bawah seikum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti cincin sehingga disebut umbai cacing, dengan panjang 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum, mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mensentrium dan dapat diraba melalui dinding abdomen. (Syaifuddin, 1996, hal 92).
2. Colon Asenden
Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kalon membujur keatas dari ileum kebawah hati. Dibawah hati membengkok kekiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica dan dilanjutkan sebagian kolon transversum (Syaifuddin, 1996, hal 92).
3. Apendiks
Bagian usus besar yang muncul seperti corong dari akhir seikum, mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus (Syaifuddin, 1996, hal 92).
4. Colon Transversum
Panjangnya kurang lebih 38 cm, membujur dari kolon asendes sampai kekolon desendens berada dibawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksula lienalis (Syaifuddin, 1996, hal 92).
5. Colon Desendens
Panjangnya kurang lebih 25 cm, terletak dibawah abdomen bagian kiri membujur dari atas kebawah dari fleksura lienalis sampai kedepan ileum kiri, bersambung dengan colon sigmoid (Syaifuddin, 1996, hal 92).


6. Colon Sigmoid
Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya berhubungan dengan rectum (Syaifuddin, 1996, hal 92).
7. Rektum
Terletak dibawah colon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvic didepan oscracum dan oscogcigis (Syaifuddin, 1996, hal 92).
8. Anus
Adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rectum dengan dunia luar. Terletak didasar pelvik, dindingnya diperkuat oleh tiga spincter:
a) Spincter Ani Internus, bekerja tidak menurut kehendak.
b) Spincter Levator Ani, bekerja tidak menurut kehendak.
c) Spincter Ani Eksternus, bekerja menurut kehendak (Syaifuddin, 1996, hal 92).
1. Definisi
b. Gastroentritis adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan / tanpa darah dan /atau lendir dalam tinja (Suhariyono, 2003).
c. Gastroentiris akut adalah defekasi yang terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Mansyoer Arief, et al., 1999, hal. 470).
d. Diare adalah perubahan tiba-tiba dalam frekuensi dan kualitas defekasi (Sandra M.Nettina, 2001, hal 123).
e. Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3 kali/hari) serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 gram/hari) dan konsistensi feses cair (Smeltzer dan Bare, 2001, hal 1093)
f. Gastroenteritis adalah radang dari lambung dan usus yang memberikan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah (muntah berak) (capital selekta.edisi 3.1999)
g. Diare adalah defekasi yang tidak normal, baik frekuensi maupun konsiistensinya.frekuensi diare lebih dari 4X/hr (capital selekta,edisi 3.1999).

2. Etiologi
Gastroenteritis dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu (penggantian hormon tiroid, pelunak feses dan laksatif, antibiotik, kemoterapi, dan antasida), selain itu semua gastroenteritis dapat juga disebabkan oleh:
a. Faktor infeksi
1) Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut:
i. Infeksi bakteri: vibria, E.Coli, salmonella, shigella, compylobacter, yersiria, aeromonas dan sebagainya.
ii. Infeksi virus: Enterovirus, (virus Echo, Coxsackie, Poliomielitis) Adenovirus, Rofavirus, Astrovirus, Trichuris, Oxyuris, strongy loides, Protozoa, (Entomoeba histolyfica, giardia, lamblia, Trichomonas hominis), jamur (candida albicans).
2) Infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA), Tonsillitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, pemberian makanan perselang, gangguan metabolic dan endokrin (Diabetes, Addison, Tirotoksikosis) serta proses infeksi virus/bakteri (disentri, shigellosis, keracunan makanan).
b. Faktor Malabsorbsi
- Mal absrobsi karbohidrat: disakarida, (Intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa): monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang tersering intoleransi laktosa)
- Mal absorbsi lemak
- Mal absorbsi protein.
c. Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
d. faktor psikologis
rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebih besar) (Ngastriyah, 1997, hal 144).
e. Malnutrisi
f. Gangguan imunologi

3. Patofisiologi Gastroenteritis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya gastroenteritis ialah:
a. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik meninggi dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul gastroenteritis.
b. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya timbul gastroenteritis karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
c. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul gastroenteritis. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul pula gasteoenteritis. Berdasarkan cairan yang hilang tingkat dehidrasi terbagi menjadi:
1). Dehidrasi ringan, jika kekurangan cairan 5% atau 25 ml/kg/bb.
2). Dehidrasi sedang, jika kekurangan cairan 5-10% atau 75 ml/kg/bb.
3). Dehidrasi berat, jika kekurangan cairan 10-15% atau 125 ml/kg/bb. (Ngastiyah, 1997, hal 144).
Gastroenteritis dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri secara langsung atau oleh efek dari nurotoxin yang diproduksi oleh bakteria. Infeksi ini menimbulkan peningkatan produksi air dan garam ke dalam lumen usus dan juga peningkatan motilitas, yang menyebabkan sejumlah besar makanan yang tidak dicerna dan cairan dikeluarkan. Dengan gastroenteritis yang hebat, sejumlah besar cairan dan elektrolit dapat hilang, menimbulkan dehidrasi, hyponatremi dan hipokalemia (Long, 1996).
Selain itu juga gastroenteritis yang akut maupun yang kronik dapat meyebabkan gangguan gizi akibat kelaparan (masukan kurang, pengeluaran bertambah), hipoglikamik, dan gangguan sirkulasi darah (Ngastiyah, 1997, hal 144).


















PATOFLO DIAGRAM
Bakteri, virus, parasit

Masuk dalam saluran cerna

Berkembangbiak di usus

Reaksi pertahanan dari E.Coli

Pertahanan tubuh

Inflamasi usus

Makanan, zat Peningkatan sekresi air Hiperperistaltik
Tidak dapat diserap dan elektrolit usus

Tekanan osmatik dalam Penurunan absorbsi Penurunan
Rongga usus dalam usus fungsi usus dalam
Mengabsorbsi makanan

Pergeseran air dan elek- Diare Diare
Trolit dalam rongga

Usus Kurang pemasukan Pola defekasi tergang-
Makanan gu (lebih sering)

Isi rongga usus ber-
lebihan




Merangsang usus untuk Pertanyaan orangtua
Mengeluarkannya klien tentang penyakit




Kembung




Kematia
(Smeltzer dan Bare, 2001, h 1093; Ngastiyah, 1997, h 144; Long. C Barbara, 1996).
4. Tanda dan gejala
Menurut Mansyoer Arief (2000), tanda dan gejala gastroenteritis atau diare adalah:
a. Mula-mula bayi atau anak cengeng, gelisah.
b. Suhu badan mungkin meningkat.
c. Nafsu makan berkurang atau tidak ada.
d. Diare.
e. Feses cair dengan darah atau lendir.
f. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur empedu.
g. Anus dan sekitarnya lecet karena tinja menjadi asam.
h. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare.
i. Dehidrasi, bila banyak cairan keluar mempunyai tanda-tanda ubun-ubun besar cekung, tonus dan turgor kulit menurun, selaput lendir mulut dan bibir kering.
j. Berat badan turun.
5. Pemeriksaan Diagnosa
Menurut Mansyoer Arief (2000), pemeriksaan diagnostik pada klien gastroenteritis adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan tinja
1). Makroskopis dan mikroskopis.
2). Biarkan kumanuntuk mencari kuman penyebab.
3). Tes resistensi terhadap berbagai antibiotik (pada diare persisten).
4). PH dan kadar gula jika diduga ada toleransi gula (sugar Intolerance).
b. Pemeriksaan darah
1). Darah perifer lengkap.
2). Analisis gas darah dan elektrolit (terutama Na,K, Ca dan P serum pada diare yang disertai kejang).
3). PH dan cadangan alkali untuk menentukan gangguan keseimbangan asam basa.
4). Kadar uream dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal.
c. Duodenal intubation
Untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif dan kualitatif terutama pada diare kronik.
6. Penatalaksanaan
Menurut Mansyoer Arief (2000), penatalaksanaan gastroenteritis adalah terdiri dari:
i. Simtomatis
1). Terapi rehidrasi
Tujuan terapi rehidrasi untuk mengoreksi kekurangan cairan dan elektrolit secara cepat kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya berhenti dengan cara memberikan oralit, cairan infus yaitu Ringer Laktat, Dekstrose 5%. Dekstrosa dalam salin, dll.
2). Antispasmodik, Antikolinergik (Antagonis stimulus kolinergik pada reseptor muskarinik), contoh obat: Papaperin.
3). Obat anti diare:
a). Obat anti motilitas dan sekresi usus (Loperamid).
b). Oktreotid (Sondostatin) sudah dicoba dengan hasil memuaskan pad
diare sklerotik.
c). Obat antidiare yang mengeraskan tinja dan absorbsi zat toksik yaitu: Norit 1-2 tablet diulang sesuai kebutuhan.
4). Antiemetik (metoclopramid).
5). Vitamin dan mineral, tergantung kebutuhan yaitu vitamin B1, asam folat.
6). Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare
untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi.
b. Kausal
Pengobatan kausal diberikan pada infeksi maupun non infeksi, pada kasus kronik dengan penyebab infeksi, obat diberikan berdasarkan etiologinya.


7. Komplikasi
Menurut Ngastiyah ( 1997), akibat yang ditimbulkan gastroenteritis atau diare adalah:
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik.
c. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan elektrokardiogram).
d. Hipoglikemia.
e. Intoleransi sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim laktosa.
f. Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energi protein, (akibat muntah dan diare, jika lama atau kronik).

B. Konsep Dasar Keperawatan
Proses keperawatan adalah metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini bisa disebut sebagai pendekatan problem solving (pemecahan masalah) yang memerlukan ilmu, tehnik dan ketrampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien atau keluarga dengan memberikan asuhan keperawatannya sesuai dengan lima tahap proses keperawatan, yaitu: pengkajian, perumusan diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Nursalam, 2001).
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber dan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001).
Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data dengan cara anamnesa yang diperoleh dengan wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta mempelajari status klien.
Ada dua tipe data pada pengkajian yaitu: data subjektif dan data objektif.
Data subjektif adalah data yang diperoleh dari keluhan yang dirasakan pasien atau keluarga. Data objektid adalah data yang diperoleh dari data pengukuran, pemeriksaan dan pengamatan (Ali, 2002, hal 74).
Setelah pengumpulan data langkah berikutnya dalam pengkajian adalah pengelompokan data yang terdiri atas data fisiologis, psikologis, social dan spiritual (PPNI, 1994). Pengelompokan data akan memudahkan perawatan dalam menegakkan masalah keperawatan klien.
Untuk kasus gastroenteritis, pengkajian yang dilakukan meliputi:
a. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat tanggal lahir, nama orang tua, pekerjaan dan pendidikan.
b. Riwayat kesehatan yang lalu
Penyakit yang pernah diderita, apakah sebelumnya pernah menderita gastroenteritis atau penyakit lain, kebiasaan hidup, riawayat alergi dan lain-lain.
c. Riwayat kesehatan saat sakit
1). Keluhan utama: Keluhan yang sering ditemukan adalah BAB encer lebih dari empat kali sehari, warna feses kuning kehijauan, hijau, bentuk mukoid dan mengandung darah.
2). Riwayat perjalanan penyakit: beberapa lama penyakit diderita, hal-hal yang meringankan dan memperberat penyakit.
3). Upaya yang dilakukan untuk mengatasi keluhan.
d. Riwayat kehamilan dan persalinan ibu
Kehamilan dengan gawat janin, diabetes mellitus, malnutrisi, intrauteri, infeksi intra-natal, persalinan dengan ada komplikasi, persalinan dengan tindakan karena ada komplikasi, penolong persalinan (Sacharin, 1996).
e. Riwayat penyakit keluarga
Ada riwayat penyakit gastroenteritis
f. Riwayat alergi juga penting karena dapat juga menjadi indicator
penyakit terutama obat.
g. Riwayat pemberian imunisasi
Imunisasi lengkap atau tidak (Sastroasmoro, 1996).
h. Pengkajian fisik
1. Tanda-tanda vital: tekanan darah menurun akibat ketidakseimbangan cairan elektrolit, suhu meningkat, nadi cepat, lemah, respirasi meningkat akibat asidosis metabolic.
2. Keadaan penyakit
Penyakit akut bila tidak segera ditangani dapat mengakibatkan dehidrasi yang ditandai depresi fontanel anterior, mata cekung, turgor kulit buruk, selaput lendir kering, tidak ada air mata bila menangis, sehingga klien dapat jatuh kedalam syok hipovolemik dan dapat meyebabkan kematian.
3. Keadaan umum klien
Mula-mula jatuh pada dehidrasi ringan yang apabila tidak segera diatasi maka akan jatuh pada dehidrasi sedang dan berat, yang diawali kelemahan fisik.
4. Sistem integumen
Eksoriasi bokong akibat tinja asam, turgor kulit baik dan bila jatuh pada tahap dehidrasi berat maka turgor kulit buruk.
5. Sistem hemotologi
Hiponatremia atau hipernatremia akibat kekurangan natrium, hipokalemia atau hiperkalemia akibat kekurangan kalium, asidosis metabolic.
6. Sistem pernapasan
Respiratori meningkat akibat adanya asidosis metabolic apabila jatuh pada dehidrasi berat.
7. Sistem gastrointestinal
Nyeri atau kram abdomen, dehidrasi abdomen, hiperperistaltik usus.
i. Pola fungsi kesehatan
Pola fungsi kesehatan dapat di kaji melalui pola Gordon dimana pendekatan ini memungkinkan perawat untuk mengumpulkan data secara sistematis dengan cara
mengevaluasi pola fungsi kesehatan dan memfokuskan pengkajian fisik pada masalah khusus.
j. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan
Kaji persepsi keluarga terhadap kesehatan dan upaya-upaya keluarga untuk mempertahankan kesehatan. Termasuk juga penyakit anak sekarang ini dan upaya yang diharapkan.
k. Pola nutrisi metabolik
Kaji pola nutrisi anak dan bagaimana dengan pemberian ASI. Klien mengalami gangguan nafsu makan, mual, muntah dan diare.
l. Pola eliminasi
Kaji pola eliminasi feses dan urin, berapa frekuensinya dan bagaimana sifatnya, BAB lebih empat kali sehari, BAK tak terkaji, berat jenis urine tinggi, oliguria.
m. Pola istirahat-tidur
Gangguan tidur biasanya disebabkan oleh badan panas atau demam, BAB yang sering.
n. Pola kognitif perseptual
Pola ini sulit dan tak bisa dikaji/dilakukan
o. Pola peran hubungan
Kaji siapa yang mengasuh bayi. Klien sering digendong karena rewel.
p. Pola aktivitas dan latihan
Kaji tingkat perkembangan atau tumbuh kembang sesuai dengan usia.
q. Pola reproduksi
Tidak bisa di kaji pada bayi, tapi dapat dilihat dari cara orang tua memperlakukan anaknya sesuai dengan jenis kelamin (pakaian, alat permainan).
r. Pola koping dan toleransi terhadap stress.
Untuk mengkaji pola ini sulit karena bahasa untuk bayi tidak dimengerti (menangis).
s. Pola keyakinan
Kajian tentang pola keyakinan ini lebih banyak pada bagian bagaimana pola keyakinan orang tua klien.

2. Diagnosa keperawatan
Gastroenteritis mungkin menyebabkan interaksi fungsi normal dari system tubuh yang dipengaruhi. Berdasarkan data pengkajian diagnosa keperawatan pasien yang utama yang berhubungan dengan gastroenteritis meliputi: sesuai teori, bukan askep
b. Risiko terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasase feses yang sering dan kurangnya asupan cairan.
b. Risiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pasase feses yang sering atau encer (Smeltzer dan Bare, 2001, hal.1094)
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan makanan tak adekuat.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang mengenal informasi tentang kondisi ( Doenges, 2000, hal 426).
e. Perubahan pola eliminasi Bab, diare berhubungan dengan proses infeksi pada saluran cerna.
f. Perubahan ketidak nyamanan yang berhubungan dengan kram abdomen, diare, dan muntah sekunder terhadap dilatasi vaskuler dan hiperperistaltik.
g.
3. Perencanaan
Dalam menentukan perencanaan perlu menyusun suatu system untuk menentukan diagnosa yang akan diambil tindakan pertama kali. Salah satu system yang bisa digunakan adalah hirarki kebutuhan manusia “ Fyer et al, 1996 “ ( Nursalam, 2001, hal 52 ). Perencanaan meliputi pengembangan strategi untuk mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang akan diidentifikasi pada diagnosa kutipan dari Fiyer, taptik dan bernocehi, 1996 ( Nursalam, 2001, hal 51), dalam pengaturan prioritas, perencanaan ada dua hirarki yang bisa digunakan:
1). Hirarki Maslow
Maslow menjelaskan kebutuhan manusia dibagi dalam lima tahap: fisiologi, rasa aman dan nyaman, sosial, harga diri dan aktualitas diri. Dia mengatakan bahwa klien memerlukan suatu tahapan kebutuhan. Jika klien menghendaki suatu tindakan yang memuaskan. Dengan kata lain kebutuhan fisiologis biasanya sebagai prioritas utama bagi klien dari pada kebutuhan lain
( Nursalam, 2001, hal 52).
Dimana Maslow menggambarkan dengan skema piramida yang menunjukkan bagaimana seseorang bergerak dari pemenuhan kebutuhan dasar dari tingkat kebutuhan yang lebih tinggi dengan tujuan akhir adalah fungsi dan kesehatan manusia yang terintergrasi.
















Aktualisasi diri

Harga diri

Mencintai dan dicintai

Kebutuhan keselamatan
Dan keamanan

Kebutuhan fisiologis
(O2, Co2, Elektrolit,
makanan, dan sex).

Hirarki Abraham Maslow

Keterangan:
a). Kebutuhan fisiologis O2, Co2, Elektrolik, makanan, sex .
b). Kebutuhan keselamatan dan keamanan, terhindar dari penyakit, pencuri dan perlindungan hokum.
c). Mencintai dan dicintai : kasih sayang, mencintai, dicintai, diterima kelompok.
d). Harga diri: dihargai dan menghargai (Respek dan toleransi).
e). Aktualisasi diri: ingin diakui, berhasil dan menonjol
( Smeltzer and Bare, 2002, hal 14)


2). Hirarki “ kalish”
Kalish 1983, lebih menjelaskan kebutuhan Maslow dengan membagi kebutuhan fisiologi menjadi kebutuhan untuk “bertahan dan stimulasi”. Kalish mengidentifikasi kebutuhan untuk mempertahankan hidup: udara, air, temperatur, eliminasi, istirahat dan menghindari nyeri, jika terjadi kekurangan kebutuhan tersebut, klien cenderung menggunakan prasarana untuk memuaskan kebutuhan tertentu, hanya saja mereka akan mempertimbangkan terlebih dahulu kebutuhan yang paling tinggi prioritasnya, misalnya keamanan dan harga diri. Di kutif dari Iyer, el al, 1996 (Nursalam, 2001, hal 53)
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien dengan gastroenteritis maka rencana keperawatan yang dapat dirumuskan adalah:
1). Risiko terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasase feses yang sering dan kurangnya asupan cairan.
Tujuan: volume cairan seimbang.
Kriteria hasil: - BAB tidak lebih dari satu kali perhari.
- Intake dan out put seimbang.
- Turgor kulit baik.
- Mata tidak cekung.
Intervensi:
a). Kaji adanya dehidrasi (penurunan turgor kulit, tacikardi, nadi lemah, penurunan natrium serum, haus).
Rasional: keseimbangan cairan sulit di pertahankan selama episode akut. Karena feses di dorong melalui usus terlalu cepat untuk memungkinkan absorbsi air; haluaran melebihi asupan
b). Mencatat intake dan output.
Rasional: Mengetahui kesimbangan antara intake dan output klien dan mengetahui banyak pergantian cairan yang di perlukan.
c). Timbang berat badan setiap hari.
Rasional: sebagai indikasi dalam pemenuhan cairan dan nutrisi.
d). Berikan cairan parenteral sesuai indikasi.
Rasional: memperbaiki kehilangan cairan.
(Smeltzer and Bare, 2002, hal 1095).
2). Risiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pasase feses yang sering atau encer.
Tujuan: menunjukkan waktu penyembuhan yang tepat tanpa konplikasi.
Kriteria evaluasi: menunjukkan prilaku orang tua untuk mempertahankan kulit halus, kenyal dan utuh.
Intervensi:
a). Observasi kemerahan, pucat, ekskoriasi.
Rasional: Area ini meningkat risikonya untuk kerusakan dan memerlukan pengobatan lebih intensif.
b). Gunakan krim kulit dua kali sehari dan setelah mandi.
Rasional: melicinkan kulit dan menurunkan gatal.
c). Tekankan pentingnya masukan nutrisi atau cairan adekuat.
Rasional: perbaiki nutrisi dan hidrasi akan memperbaiki kondisi kulit.
d). Dorong mandi dua hari satu kali, pengganti mandi tiap hari.
Rasional: sering mandi menyebabkan kekeringan kulit.
(Doenges, 2000, hal 434).
3). Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan makanan tak adekuat.
Tujuan: kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi .
Kriteria hasil: dapat menghabiskan porsi makanan yang di hidangkan.
Intervensi:
a). Kaji dan catat masukan oral klien.
Rasional: mengetahui perkembangan nafsu makan klien dan memantau peningkatan masukan oral.
b). berikan klien makan dengan diet lunak, diet dengan porsi kecil tapi sering.
Rasional: mencegah kekosongan lambung yang dapat mengiritasi lambung .
(Doenges, 2002, hal 426).
4). Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang mengenal informasi tentang kondisi.
Tujuan: keluarga memahami proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria hasil: - keluarga mengerti tentang penyakit dan pengobatan.
- keluarga berpartisipasi dalam pengobatan dan perawatan.
Intervensi:
a). Tentukan persepsi keluarga tentang proses penyakit.
Rasional: mengetahui tingkat pengetahuan dasar tentang proses penyakit dan pengobatan.
b). Kaji ulang proses penyakit, penyebab yang menimbulkan gejala.
Rasional: pengetahuan dasar yang akurat memberikan kesempatan keluarga untuk membuat keputusan tentang penyakitnya.
c). Kaji ulang obat, tujuan, frekwensi, dosis dan kemungkinan efek samping.
Rasional: memungkinkan pemahaman dan dapat meningkatkan kerja sama dalam program.
d). Tekankan pentingnya perawatan kulit seperti tehnik. Cuci tangan yang bersih dan perawatan perineal.
Rasional: Menurunkan penyebaran bakteri dan resiko iritasi kulit
(Doenges, 2002, hal 435).




5). Perubahan pola eliminasi Bab: diare berhubungan dengan proses infeksi pada saluran cerna.
Tujuan : Pola eliminasi kembali normal.
Kirteria hasil: BAB tidak lebih dari satu kali perhari, intake dan output seimbang, konsistensi feses lembek.
Rencana tindakan:
a). Kaji dan catat frekwensi BAB, karakteristik feses dan faktor pencetus.
Rasional: Mengetahui penyebab diare dan menentukan tindakan selanjutnya.
b). Berikan istirahat yang cukup bagi klien.
Rasional: Membantu menurunkan mobilitas usus dan menurunkan metabolisme bila ada infeksi.
c). Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Melalui tanda-tanda vital dapat diketahui perubahan suhu, nadi, tekanan darah dan pernapasan yang abnormal atau kemungkinan terjadinya pre syok atau syok.
d). Berikan oral yang adekuat, porsi kecil tapi sering.
Rasional: Mempertahankan kondisi tubuh klien dan mencegah kekosongan lambung.
e). Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Mengobati sufuratif lokal.
6). Perubahan ketidaknyaman yang berhubungan dengan kram abdomen, diare, dan muntah sekunder terhadap dilatasi vaskuler dan hiperperistaltik.
Tujuan: Rasa ketidaknyaman berkurang sampai hilang.
Kriteria hasil:
- Klien tidak rewel atau gelisah
- Hiperperistaltik dan diare sudah tidak ada lagi.
Rencana tindakan:
a). Baringkan klien dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat diatas abdomen.
Rasional: Tindakan ini meningkatkan relaksasi otot GI dan mengurangi kram.
b). Berikan masukan cairan sedikit tapi sering.
Rasional: Cairan dalam jumlah yang kecil tidak akan mendesak area gastrik dengan demikian tidak memperberat gejala.
c). Lindungi daerah perianal dari iritasi.
Rasional: Sering BAB dengan peningkatan keasaman dapat mengiritasi kulit perianal (Carpenito, 1999, hal.190).
4. Pelaksanaan
Iyer (1996) mengatakan bahwa pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik.
Pelaksanaan atau implementasi merupakan aflikasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus kita perhatikan ketika akan melakukan implementasi adalah intervensi yang dilakukan sesuai dengan rencana. Setelah dilakukan validasi, pengasahan ketrampilan interpersonal, intelektual dan psikologi individu. Terakhir melakukan pendokumentasian keperawatan berupa mencatatan dan pelaporan (Nursalam, 2001).
Tahap ini merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan, oleh karena itu pelaksanaannya dimulai setelah rencana tindakan dirumuskan dan mengacu pada rencana tindakan sesuai skala sangat urgen, urgen dan tidak urgen atau non urgen.
Dalam pelaksanaan tindakkan ada tiga fase yang harus dilalui yaitu: persiapan, perencanaan, dan dokumentasi (Griffith, 1986), berikut penjelasannya:
a. Fase persiapan meliputi:
1). Revieuw antisipasi tindakan keperawatan.
2). Menganalisa pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan.
3). Mengetahui komplikasi yang mungkin timbul.
4).Persiapan alat.
5). Persiapan lingkungan yang konduksif.
6). Mengidentifikasi aspek hukum dan etik.
b. Fase intervensi terdiri atas:
1). Independen: tindakan yang dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tim kesehatan lain.
2). Interdependen: tindakan perawat yang memerlukan kerjasama dengan tim kesehatan lain (gizi, dokter, laboratorium, dll).
3). Dependen: berhubungan dengan tindakan medis atau menandakan dimana tindakan medis di laksanakan.
c. Fase dokumentasi merupakan suatu catatan lengkap dan akurat dari tindakan yang telah dilaksanakan. Dalam pelaksanaan tindakan asuhan keperawatan pada klien gastroenteritis perawat berperan sebagai pelaksana keperawatan, pemberi support, pendidik, advokasi, konselor dan pencatatan atau penghimpun data.

5.Evaluasi
Evaluasi adalah suatu yang direncanakan dan dibandingkan yang sistematis pada status kesehatan klien ( Griffith dan Christensen, 1986).
Sedangkan Ignatavicius dan Bayne (1994) mengatakan evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses perawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Evaluasi terdiri atas dua jenis yaitu: evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif disebut juga sebagai evaluasi proses, evaluasi jangka pendek atau evaluasi berjalan, dimana evaluasi dilakukan sampai tujuan tercapai. Sedangkan evaluasi sumatif bisa disebut juga evaluasi hasil, evaluasi akhir, evaluasi jangka panjang. Evaluasi ini dilakukan pada akhir tindakan keperawatan paripurna dan menjadi suatu metode dalam memonitor kualitas dan efisiensi tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format SOAP (Nursalam, 2001).
Tujuan evaluasi adalah untuk mendapatkan umpan balik rencana keperawatan, nilai serta meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan standar yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam hal ini penilaian yang diharapkan pada klien dengan gastroenteritis adalah:
a. Konsistensi feses normal.
b. Klien atau bayi tidak lagi rewel.
c. Turgor kulit baik.
d. Gangguan keseimbangan cairan tubuh teratasi.

6.Perencanaan pulang (Dischange Planning)
Pada klien dengan gastroenteritis perlu adanya penyuluhan tentang cara-cara mencegah terjadinya diare yaitu tidak mengkonsumsi makanan yang basi, mencuci sayur dan makanan sebelum dimasak, minum air yang sudah dimasak, serta tidak boleh jajan di sembarang tempat (warung di pinggir jalan), dan cuci tangan sebelum makan makanan yang kita makan.
Bila klien mengalami diare yang berat hendaknya cepat kerumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Jika mengalami komplikasi hendaknya berobat teratur dan cek ulang secara teratur pula.

21 Mei 2009

Askep DM

A. Konsep Dasar Medis
Untuk memperjelas gambaran tentang diabetes melitus, penulis akan mengemukakan konsep dasar medis dan konsep dasar asuhan keperawatan.
1. Definisi
a. Diabetes melitus adalah penyakit karena kekurangan hormon insulin sehingga glukosa tidak dapat diolah oleh badan dan kadar glukosa dalam darah meningkat, lalu dikeluarkan dalam kemih yang menjadi terasa manis. (Kamus Kedokteran Dr. Med Achmadi Rawali, K. St. Pamoentjak tahun 2003, hal. 92).
b. Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan hitrogen yang ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Smeltzer, S. C. & Bare, B, 2000).
c. Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal (Arif Mansjoer, dkk, 2001).
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi
(gambar)
Organ tubuh yang mengekskresi insulin adalah kelenjar pancreas melalui pulau langerhans yang berada dalam kelenjar pancreas. Secara anatomis letak dari pada kelenjar pancreas pada belakang gaster di depan vertebralis lumbalis I&II. Di dalam kelenjar pancreas terdapat sel-sel beta yang menghasilkan insulin. Tiap pancreas mengandung kurang lebih 100.000 pulau langerhans dan tiap pulau berisi 100 sel beta. Di samping sel beta ada juga sel alfa yang memproduksi glukogen yang bekerja sebaliknya dari insulin yaitu meningkatkan kadar gula darah. Juga ada sel delta yang mengeluarkan semua somastostatin.

b. Fisiologi
Fungsi utama dari insulin adalah megnendalikan kadar glukosa yang berada dalam darah. Bila digunakan sebagai pengobatan, memperbaiki kemampuan sel tubuh untuk mengobservasi dn menggunakan glukosa serta lemak. Asupan glukosa yang terdapat dalam darah dihasilkan dari pemecahan karbohidrat dalam berbagai bentuk termasuk monosakarida dikonsumsi di dalam tubuh dipecahkan menjadi monosakarida dan diserap di dalam tubuh melalui duodenum dan jejunum proksimal. (Price&Wilson, 1994).
Sesudah diabsorbsi kadar glukosa dalam darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya kembali lagi ke kadar semula yang merupakan hasil kerja dari insulin. Apa bila seseorang memakan makanan, sekresi insulin akan meningkat dan menggerakkan glukosa ke dalam sel-sel otot, hati serta lemak. Peningkatan glukosa dalam darah seiring dengan peningkatan glukosa dalam darah diperoleh dari makanan. (Smeltzer&Bare, 1997).
3. Etiologi
Insulin dependen diabetes melitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung insulin (DMTI) disebabkan oleh destruksi sel beta pulau langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan noninsulin dependen diabetes melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengembalian glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan merangsang sekresi insulin lain, berarti sel beta pancreas mengalami desensitasi terhadap glukosa. (Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3 jilid 1 hal 580).
4. Patofisiologi
Dalam keadaan normal tubuh mempertahankan kadar glukosa darah antara 60-120 mg% agar memberi sumber energi bagi metabolisme sel. Glukosa darah meningkat disebabkan oleh berbagai sumber seperti pemasukan makanan, pemecahan glikogen, glukonegenesis memacu terjadinya respon insulin. Orang yang sehat dapat memproduksi insulin sesuai kadar glukosa untuk memungkinkan terjadinya penggunaan glukosa sehingga pada akhirnya kadar glukosa kembali normal.
DM tipe 1 atau diabetes juvenile. Pada tipe ini insulin endogen kurang jumlahnya kerena tidak berfungsi Sel beta, sehingga terjadi peningkatan glukosa untuk memenuhi tuntutan metabolisme glukosa dibutuhkan insulin dari luar. Agar dapat hidup normal pasien diabetes tipe 1 secara total tergantung pada insulin dari luar.
DM tipe II timbul pada orang dewasa umumnya mulai pada usia 40 tahun, jumlah insulin yang diproduksi di dalam tubuh bisa normal atau melebihi normal, penderita tipe ini membutuhkan insulin dari luar pada saat terjadinya berbagai stress. Kira-kira 90% penyebab dari diabetes tipe II yaitu kegemukan. (Sylvia, A, 1995) Patofisiologi : Konsep klinis proses penyakit edisi keempat).











Patoflowdiagram






















Sylvia A. (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 4






5. Manifestasi Klinis
Diagnostik DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa :
a. Polifogia (banyak makan)
b. Poliuria (sering kencing terutama pada malam hari)
c. Polidipsia (rasa haus yang berlebihan)
d. Lemas
e. Berat badan menurun
f. Kesemutan
g. Mata kabur
h. Impotensi pada pria
i. Pruritis Vulva pada wanita.
(Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1 hal 580)
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tes toleransi glukosa (TTG) memanjang lebih dari 200 mg/dl) tes ini biasanya dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan gula darah meningkat di bawah kondisi stress.
b. Gula darah puasa normal atau di atas normal 140 mg/dl
c. Essel hemoglobin glikosilat di atas rentang normal.
d. Uranilisis positif terhadap glukosa dan keton.
e. Kolesterol dan kadar trigeserida serum. (EngramVolume 3 hal. 536).
7. Penatalaksanaan
a. Untuk DM tipe I
Insulin (karena tak ada insulin endogen dihasilkan)
b. Untuk DM tipe II
1) Diet
2) Penggunaan aktivitas fisik
3) Agen hipoglikemia.
(Engram, Volume 3 hal 535)

8. Komplikasi
a. Akut
1) Koma hepatika
2) Ketoasidosis
3) Koma hiperosmolar non ketotik.
b. Kronik
1) Makroangiopati, mengenai pembulih darah besar : pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
2) Mikoroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil.
3) Neuropati diabetik.
4) Rentan infeksi
5) Kaki diabetik
(Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1, hal 582).

B. Kosep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada klien diabetes melitus menurut Doenges (1999) adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak atau berjalan,kram otot,tonus otot
menurun. Gangguan tidur atau istirahat.
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan
aktivitas. Latergi/disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot.
b. Integritas ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain. Masalah finansial yang
berhubungan dengan kondisi.
Tanda : Ansietas, peka rangsang.
c. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi : IM akut. Klaudikasi, kebas, dan
kesemutan pada ekstremitas. Ulkus pada kaki, penembuhan yang lama.
Tanda : Takikardia, perubahan tekanan darah postural ; hipertensi.
nadi yang menurun atau tak ada, disritmia, kulit panas, kering dan kemerahan ; bola mata cekung.
d. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia. Rasa nyeri/
terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda : Urin encer, pucat, kuning ; poliuria (dapat berkembang men-
jadi oliguria/anuria jika terjadi hipovolemia berat. Urin berkabut, bau busuk (infeksi). Abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun ; hiper aktif (diare).
e. Makanan/cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, mual muntah, penurunan berat badan le-
bih dari periode beberapa hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Hazid).
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdo-
men, muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah). Bau halitosis/manis, bau buah, (napas aseton).
f. Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, gangguan pengliha-
tan.
Tanda : Disorientasi ; mengantuk, letargi, stupor/koma, gangguan me-
mori (baru, masa lalu), kacau mental.
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi ; tampak sangat berhati-hati.

h. Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum pu-
rulen (tergantung adanya infeksi atau tidak).
Tanda : Kekurangan udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen (in-
feksi) frekuensi pernapasan.
i. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal : ulkus kulit.
Tanda : Demam, diatoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnya ke-
kuatan umum/rentang gerak. Parestesia otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan tajam).
j. Seksualitas
Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi). Masalah impoten pada pria
kesulitan orgasme pada wanita.
2. Diagnosa Keperawatan
Berikut ini diagnosa-diagnosa keperawatan yang dapat timbul pada klien diabetes melitus (Doenges, 1999).
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin.
b. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik dari hiperglikemia.
d. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosuksi sensasi taktil dan penurunan dan penurunan ketajaman penglihatan.
e. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan tidak mengenai penyakit.
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit dan perubahan pada sirkulasi.
g. Perubahan sensori perseptual, penurunan ketajaman penglihatan dan penurunan sensasi taktil berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa insulin dan elektrolit.

3. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
1 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria :
- Klien dapat menghabiskan cukup banyak makanan untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
- Nafsu makan bertambah. 1. Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.




2. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.


3. Identifikasi makanan yang disukai atau dikehendaki termasuk kebutuhan etnik atau kultur.



4. Libatkan keluarga pasien dalamperencanaan makanan ini sesuai indikasi.




5. Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrisi) dan elektrolit segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan melalui oral. 1. Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat termasuk absorbsi dan ultilisasi. (Doenges, 1999, hal 732).

2. Mengidentifikasi pengurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik. (Doenges, 1999, hal 732).

3. Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makanan kerja sama ini dapat diupayakan setelah pulang. (Doenges, 1999, hal 732).

4. Meningkatkan rasa keterlibatannya, memberikan informasi kepada keluarga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. (Doenges, 1999, hal 732).

5. Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gastrointestinal baik. (Doenges, 1999, hal 732).
2 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik dari hiperglikemia. Tujuan :
Volume cairan dalam batas normal.
Kriteria :
- TTV stabil
- Turgor kulit dan pengisian kapiler baik
- Kadar elektrolit DBN
- Haluaran urine tepat secara individu. 1. Pantau TTV, catat adanya perubahan TD.



2. Pola napas seperti adanya pernapasan kusmaul atau pernapasan yang bau keton.






3. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.


4. Pantau masukan dan pengeluaran catat berat jenis urine.





5. Catat hal-hal yang dilaporkan seperti mual, nyeri abdomen, muntah dan distensi lambung. 1. Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. (Doenges, 1999, hal 730).

2. Paru-paru mengeluarkan asam karbohidrat melalui pernapasan yang menghasilkan kompensasi alkohololis respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis. (Doenges, 1999, hal 730).

3. Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat. (Doenges, 1999, hal 730).

4. Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal dan keefektifan dari terapi yang diberikan. (Doenges, 1999, hal 730).

5. Kekurangan volume cairan dan elektrolit mengubah motalitas lambung, yang seringkali akan menimbulkan muntah dan secara potensial akan menimbulkan kekurangan cairan dan elektrolit. (Doenges, 1999, hal 730).

3 Resiko tinggi cedera berhubungan dengan prosuksi sensasi taktil dan penurunan dan penurunan ketajaman penglihatan. Tujuan :
Tidak terjadi cedera
Kriteria hasil :
Klien tidak mengalami cedera. 1. Orientasi klien terhadap lingkungan, stat, dan orang lain.


2. Anjurkan klien untuk memakai kaca mata.


3. Letakkan barang yang dibutuhkan dalam jangkauan.



4. Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlibat.



5. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi di mata, di mana dapat terjadi jika menggunakan tetes mata. 1. Meningkatkan orientasi dan menurunkan kecemasan. (Doenges, 1999, hal 426).

2. Membantu ketajaman penglihatan. (Doenges, 1999, hal 426).

3. Memungkinkan klien untuk melihat objek lebih jelas dan mudah. (Doenges, 1999, hal 426).

4. Kebutuhan individu dan pilihan intervensi bervariasi sebab kehilangan penglihatan terjadi lambat dan progresif. (Doenges, 1999, hal 426).

5. Gangguan penglihatan/iritasi dapat berakhir 1-2 jam setelah tetasan mata tetapi secara bertahap menurun dengan penggunaannya. (Doenges, 1999, hal 426).
4 Perubahan sensori perseptual : penurunan ketajaman penglihatan dan penurunan sensasi taktil berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa insulin dan elektrolit. Tujuan :
Kerusakan sensori perseptual tidak terjadi/minimal.
Kriteria hasil :
- Klien tidak mempertahankan mental biasanya (tidak terjadi disorientasi orang, tempat dan waktu)
- Mengenali adanya kerusakan sensori. Contohnya : penurunan ketajaman penglihatan. 1. Pantau TTV dan status mental.





2. Panggil klien dengan nama, orientasi kembali sesuai dengan kebutuhannya.



3. Jadwalkan intervensi keperawatan agar tidak mengganggu waktu istirahat klien.


4. Evaluasi lapang pandang sesuai indikasi.




5. Selidiki adanya keluhan nyeri dan kehilangan sensasi yang mempengaruhi resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan. 1. Dasar membandingkan temuan abnormal seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental. (Doenges, 1999, hal 736).

2. Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realita. (Doenges, 1999, hal 736).

3. Meningkatkan tidur, menurunkan rasa letih dan dapat memperbaiki daya pikir. (Doenges, 1999, hal 736).

4. Edema retina, hemoragik, atau katarak mengganggu penglihatan dan memerlukan terapi keperawatan. (Doenges, 1999, hal 736).

5. Neuropati perifer dapat mengakibatkan kehilangan sensasi yang mempengaruhi resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan. (Doenges, 1999, hal 736).
5 Resiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan produksi sensasi taktil penurunan ketajaman penglihatan. Tujuan :
Tidak terjadi cedera.
Kriteria hasil :
Klien tidak mengalami cedera. 1. Orientasi klien terhadap lingkungan, stat, dan orang lain.
2. Anjurkan klien untuk memakai kaca mata.
3. Letakkan barang yang dibutuhkan dalam jangkauan.
4. Tentukan ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau kedua mata terlihat. 1.



1.





Kurang pengetahuan mengenai penyakit, pronosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan :
Klien memiliki pemahan tentang penyakit
Kriteria :
Dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan secara rasional.
Melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan
Intervensi :
1) Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan penuh perhatian tentang keluhan klien
Rasional : menanggapi dan memperhatikan sebelum klien bersedia dalam proses belajar. (Doenges, 2000)
2) Diskusikan topik-topik utama yang berhubungan tentang proses perjalanan penyakit
Rasional : memberikan pengetahuan dasar dimana klien dapat membuat pertimbangan didalam memilih gaya hidup. (Doenges, 2000)
3) Identifikasi gejala hipoglikemia misalnya lemah, pusing, letargi, pucat dan sakit kepala.
Rasional : dapat meningkatkan deteksi dan pengobatan lebih awal. (Doenges, 2000)
4) Tinjau ulang program pengobatan meliputi awitan, pucat dan lamanya dosis insulin
Rasional : pemahaman tentang semua aspek yang digunakan dapat meningkatkan penggunaan yang tepat. (Doenges, 2000)




4. Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untukmencapai tujuan yang spesifik. Pelaksanaan merupakan aplikasi dari perencanaan keperawatan oleh perawat bersama klien. Hal-hal yang harus kita perhatikan dalam melakukan implementasi adalah intervensi yang dilakukan sesuai dengan rencana. Setelah dilakukan validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan tekhnik intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis dilindungi dan dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan (Nursalam 2001)
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan ynag menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Evaluasi terdiri dari dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif disebut juga evaluasi proses, evaluasi jangka pendek maupun evaluasi yang sedang berjalan, dimana evaluasi dilakukan secepatnya setelah tindakan keperawatan dilakukan sampai tujuan tercapai, sedangkan evaluasi sumatif yang biasa disebut evaluasi akhir tindakan yang diberikan. Bentuk evaluasi ini lazimnya menggunakan format “SOAP”
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan (Nursalam 2001)
6. Perencanaan pulang
a. menganjurkan pemeriksaan gula darah setiap hari secara teratur dan rutin kepada klien.
b. Minum obat secara teratur sesuai waktu dan dosis obat
c. Mengikuti diet yang dianjurkan seperti makan teratur, porsi makan sedikit tapi sering, cukup protein, vitamin dan mineral.
d. Menganjurkan klien untuk melaksanakan perawatan kaki dan memeriksakan kaki secara rutin setiap hari.